Penulis : GJ Nawi

Dalam sejarah parlementer di Indonesia, pernah sekali sebuah kabinet pemerintahan yang berkuasa diberi julukan Kabinet Pentjak. Yaitu kepada Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 hingga 24 Juli 1955). Kiranya apa yang melatarbelakangi kabinet ini sampai diberi julukan Kabinet Pentjak?

Ada beberapa pendapat yang menjelaskan mengapa kabinet pemerintahan ke IV ini diberi julukan Kabinet Pentjak? Surat kabar berbahasa Belanda Nieuwsgier, 1 Agustus 1953 mengatakan bahwa Kabinet yang juga disebut Kabinet Ali Sastroamidjojo I ini mayoritas diisi dan diketuai oleh orang-orang yang mempunyai latar belakang ilmu bela diri khas Indonesia, Pencak Silat.

Pertama, Ali Sastroamidjojo. Dalam kabinet ke IV pemerintahan Republik Indonesia ini, beliau ditunjuk sebagai ketua kabinet sekaligus sebagai kepala pemerintahan atau Perdana Menteri. Ali Sastroamidjojo sejak muda telah dikenal sangat menggemari pencak silat sewaktu masih di Grabag, Magelang. Beliau kerap mengikuti pelajaran pencak yang  diadakan oleh Taman Siswa. Saking menggemarinya akan pencak silat, dalam setia kampanye politik yang dilakukan Ali Sastroamidjojo atas nama PNI selalu menyertakan pencak silat sebagai daya tarik simpatisan dalam sebuah pertunjukkan hiburan.

Ali Sastroamidjojo pula yang mengusulkan agar pengamanan selama Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 dipercayakan kepada orang-orang Pencak Silat[1].

Atraksi pencak silat dihadapan Ali Sastroamidjojo pada kampanye PNI, Jakarta, September 1955. (Sumber: Majalah LIFE-Howard Sochurek)

Kedua, Mr. Wongsonegoro. Sebagai wakil ketua I kabinet yang merangkap Wakil Perdana Menteri I, Mr. Wongsonegoro menjadi pusat perhatian dari pemberian julukan Kabinet Pentjak pada kabinet ini. Karena Wongsonegoro adalah tokoh politik yang juga praktisi pencak silat, bahkan Mr. Wongsonegoro adalah juga ketua sekaligus pendiri organisasi IPSI (Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia) di Yogyakarta tahun 1948.

Ketiga, adalah KH. Zainul Arifin. Sebagai seseorang tokoh politik yang dibesarkan di lingkungan santri dan budaya Melayu, Zainul Arifin sangat akrab dengan tradisi pencak silat. Zainul Arifin lahir sebagai anak tunggal dari pasangan raja Barus, Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan (ayah) dengan bangsawan asal Kotanopan, Mandailing Natal, Siti Baiyah br. Nasution. Ketika Zainul masih balita, kedua orang tuanya bercerai dan ia dibawa pindah oleh ibunya ke Kotanopan, kemudian ke Kerinci, Jambi. Di sana ia menyelesaikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dan sekolah menengah calon guru, Normal School. Selain itu, Arifin juga memperdalam pengetahuan agama di madrasah dan surau saat menjalani pelatihan seni bela diri Pencak Silat. Arifin juga seorang pecinta kesenian yang aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal Melayu, Stambul Bangsawan sebagai penyanyi dan pemain biola. Stambul Bangsawan merupakan awal perkembangan seni panggung sandiwara modern Indonesia. Dalam usia 16 tahun, Zainul merantau ke Batavia (Jakarta).

Di era Perang Kemerdekaan KH. Zainul Arifin ikut mewakili NU dalam kepengurusan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan terlibat dalam pembentukan pasukan semi militer Hizbullah. Beliau ditunjuk sebagai Panglima Laskar Hizbullah, dan membuka pelatihan kelaskaran di Cibarusah tentu dengan sisipan pelatihan-pelatihan pencak silat sebagai sarana pembelaan diri kelaskaran.

Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953-24 Juli 1955) yang dijuluki sebagai Kabinet Pentjak, dan menjadi satu-satunya Kabinet Pentjak dalam sejarah parlementer dan pemrintahan di Indonesia

[1] Wilson, ractise Pencak Silat in West Java, hlm. 256.