Dukungan anda kepada Tangtungan Indonesia akan sangat membantu kami dalam usaha pelestarian dan promosi Pencak Silat sebagai budaya warisan Indonesia. Silahkan kunjungi link berikut untuk mendukung kami : https://sociabuzz.com/tangtungan/support

Penulis : GJ Nawi

Di kecamatan Kosambi, Tangerang terdapat sebuah kelurahan, yaitu kelurahan Dadap atau orang biasa menyebutnya Kampung Dadap. Kampung Dadap memiliki karakter khas budaya yang banyak dipengaruhi oleh budaya Tionghoa peranakan, karenanya termasuk wilayah budaya Cina Benteng, sebutan untuk wilayah budaya dan kantong Tionghoa peranakan di Tangerang. Masyarakat Tionghoa peranakan di Kampung Dadap khususnya dan Tangerang pada umumnya sudah membaur dengan masyarakat natif Betawi, sehingga adat dan budayanya memiliki kekhasan tersendiri, yaitu pembauran antara budaya Tionghoa dan Betawi. Di Kampung Dadap terdapat sebuah aliran maen pukulan atau Silat Betawi yang dikreasikan oleh seorang peranakan Tionghoa-Betawi bernama Lie Tjeng Hok.

Masyarakat Cina Benteng secara umum menyebut ilmu bela diri dengan sebutan Bhe Si[1], sebuah istilah yang merupakan loanword dari bahasa Cina dialek Hokkien di Tiongkok Selatan yang secara harfiah berarti kuda-kuda. Bhe Si, dengan alasan bahwa kata Bhe Si merupakan istilah lokal untuk menyebut ilmu bela diri secara umum (martial art). Perkembangan selanjutnya membawa istilah awal Bhe Si menjadi Beksi, ada kemungkinan istilah Beksi digunakan ketika maen pukulan ini telah dikembangkan oleh murid-murid Lie Tjeng Hok yang berasal dari pribumi Betawi ketika mengembangkannya ke daerah Petukangan di Jakarta Selatan.

Lie Tjeng Hok terlahir dari keluarga petani di kampung Dadap, Tangerang pada tahun 1854 dan wafat pada tahun 1951 dalam usia 97 tahun. Lie Tjeng Hok merupakan generasi ketiga[2] dari pendahulunya yang hijrah dari Amoi (baca: e-mwi) atau Xiamen yang berada di provinsi Fukien atau Fujian di Tiongkok Selatan. Lie Tjeng Hok menikahi gadis Selam[3] asal Srengseng yang bernama No’, dari hasil perkawinan ini dikaruniai putra-putri:

1. Lie Tong San

2. Lie San Koei

3. Lie Loen Nio

4. Lie Men Nio

Foto Lie Tjeng Hok, sang pengkreasi Bhe Si Kampung Dadap.
Sumber Arief Baskoro

.

Lie Tjeng Hok pertama kali belajar maen pukulan atau silat kepada dua orang pribumi Betawi[4], dimana kedua guru itu memiliki dual aliran maen pukulan yang berbeda, antara lain: Ki Jidan (aliran Sambut Pukul) dan  Ki Miah atau Ki Maimah[5] (tidak diketahui nama aliran maen pukulannya). Disamping mempelajari dari kedua orang guru pribumi Betawi di Kampung Dadap, Lie Tjeng Hok juga menimba ilmu kuntao melalui jalur mimpi dari kakeknya yang bernama Lie A Jam. Semua ilmu yang didapat kemudian diformulasikan ke dalam sebuah bentuk ilmu bela diri baru, dimana ilmu bela diri atau Bhe Si ini diturunkan kepada orang-pribumi Betawi yang menimba ilmu darinya bernama Murhali[6]. Pada saat yang hampir bersamaan, Lie Tjeng Hok mendapatkan wangsit berupa keilmuan maen pukulan gaya lain melalui mimpi yang diturunkan dari kakek beliau yang bernama Lie A Djam, ditenggarai bahwa Lie A Djam merupakan seorang imigran asal Tiongkok Selatan yang merupakan seorang pendekar di daerah Amoi provinsi Fukien atau Fujian.

Keilmuan yang didapat Lie Tjeng Hok dari sang kakek[7] diturunkan kepada putra pertamanya yang bernama Lie Tong San[8] dan satu perempuan putri ketiga bernama Lie Loen Nio (Nona Loen) yang menguasai permainan toya. Selanjutnya Lie Tong San menurunkan keilmuannya kepada ketiga putra (1-3) dari keempat anaknya. Ke empat anaknya tersebut antara lain:

1. Lie Do Ton

2. Lie Dji Te

3. Lie Dji Tong

4. Lie Sen Nio

Selain menurunkan keilmuan kepada keluarganya, Lie Tjeng Hok juga menurunkan ilmu maen pukulan dari sang kakek kepada tujuh orang murid yang berdarah Tionghoa peranakan, antara lain:
1. The Tong Sie

2. Lim A Poh

3. Lim A Liong

4. Ouw Wa Wah

5. Yo Kie Liong

6. Thio Eng Lim

7. Yo Eng Kiat

Dari ketujuh murid Lie Tjeng Hok yang berdarah Tionghoa peranakan, hanya Lim A Poh yang memiliki dua murid. Dua murid itu bernama Tjeng San dan To Liang yang terus mengembangkannya ke daerah Jelambar, Jakarta Barat.

Sebagai seorang pendekar maen pukulan yang cukup punya nama, Lie Tjeng Hok pun tidak luput dari tantangan “bersambut” dari pendekar lain di tanah Betawi. Sekitar akhir tahun 30an[9], Lie Tjeng Hok mendapat undangan pibu[10] dari seorang pendekar kunthau ternama yang juga berasal dari Tiongkok Selatan bernama Lo Ban Teng untuk datang ke Pasar Pagi (Kongsi Besar[11]) Batavia. Undanganpun dipenuhi, namun dalam pibu itu tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, karena pendekar Lo Ban Teng merasa ada kesamaan dalam bentuk dan gaya maen pukulan Beksi Lie Tjeng Hok dengan gaya maen pukulan dari negeri leluhurnya, dengan kata lain ada semacam hubungan mata rantai gaya maen pukulan Lie Tjeng Hok dengan kuntao Lo Ban Teng yang terputus.

Lo Ban Teng, seorang pendekar kuntao dari Provinsi Fukien Tiongkok Selatan.
Sumber Majalah Star Weekly


[1]

[2] Generasi pertama Lie A Djam (Kakek), generasi kedua Lie A Tjin (ayah), tanah leluhur  berasal dari Hokkien (provinsi Fukien/Fujian) daerah Amoi di Tiongkok Selatan.

[3] Selam merupakan penyebutan untuk kata arbiter Islam, zaman dulu mengacu pada sebutan umum untuk orang pribumi Betawi.

[4] Kedua orang guru ini adalah orang pribumi lokal yang tinggal bertetangga dengan Li Tjeng Hok.

[5] Terkadang Lie Dji Tong menyebut nama Ki Miah dengan nama Ki Maimah.

[6] Ada yang menyebutnya Marhali.

[7] Permainan Bhe Si dari sang kakek masih murni berbeda dengan apa yang telah diformulasikannya dari hasil berguru dengan Ki Jidan dan Ki Miah/Ki Maimah.

[8] Menurut penuturan Eddy Wijaya (H. Oki), Lie Tong San selain mewarisi ilmu maen pukulan juga mewarisi ilmu pengobatan.

[9] Usia Lie Tjeng Hok pada saat tejadi ajakan pibu sudah tidak berusia muda lagi, diperkirakan berusia 84 tahun. Diperkirakan peristiwa terjadi pada tahun 1938, pada saat Lo Ban Teng  berusia 52 tahun dan bersama keluarganya pindah dari Semarang ke Batavia tinggal bersama Sin she Lo Boen Lio di Kongsi Besar. (Marcus A.S. & Max Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa Jilid 5, Jakarta: 2002, hlm. 562).

[10] Pibu=tarung

[11] Sekarang Jl. Perniagaan Timur.