Sebuah Tinjauan Sejarah dan Budaya Buku Sadjarah Kaboedajaan Pentja dan Riwayat Penca Cikalong Sareng Sabandar

Dukungan anda kepada Tangtungan Indonesia akan sangat membantu kami dalam usaha pelestarian dan promosi Pencak Silat sebagai budaya warisan Indonesia. Silahkan kunjungi link berikut untuk mendukung kami : https://sociabuzz.com/tangtungan/support

Penulis : GJ Nawi

Bagian I

Sabandar adalah salah satu nama aliran maenpo atau pencak silat yang berasal dari Desa Sabandar, Kecamatan Karang Tengah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Nama Sabandar dinisbatkan karena dari desa inilah pertumbuhan dan penyebaran salah satu aliran maenpo khas Cianjur ini. Penyebaran aliran maenpo Sabandar tidak terlepas dari sosok sentral penyebarnya yang bernama Muhammad Kosim atau ketika menetap di Cianjur biasa dipanggil Mamak Kosim, seorang Pandeka Silek yang berasal dari Pagarruyung[1], Minangkabau Timur (Sumatra Oostkust)[2].

Terdapat dua buku yang menjadi rujukan penulisan riwayat Muhammad Kosim atau Mamak Kosim Sabandar dan bahkan menjadi babon buku aliran-aliran pencak silat di Cianjur beserta tokoh-tokohnya. Pertama adalah Sadjarah Kaboedajaan Pentja karya Rd. Obing Ibrahim dan kedua Riwayat Penca Cikalong Sareng Sabandar karya Rd. Nunung Ahmad Dasuki. Di kedua buku tersebut menceritakan secara umum mengenai asal muasal Muhammad Kosim, termasuk latar belakang beliau hijrah dari Pagarruyung ke Batavia dan menetap di Cianjur hingga wafat di Desa Wanayasa, Purwakarta. Kedua buku tersebut menjadi familiar di kalangan persilatan Indonesia khususnya Jawa Barat, namun tidak begitu dikenal di kalangan umum sekalipun orang itu menggeluti sejarah. Seperti Budayawan Betawi Ridwan Saidi misalnya, yang di media sosial kerap menghubungkan aliran pencak silat Sabandar ini dengan Wak Item yang berprofesi sebagai Syahbandar Pelabuhan Sunda Kelapa. Sebuah argumen yang terkesan “Asal jeplak” karena tidak memiliki sumber sejarah baik data maupun fakta yang cukup valid.

Sayangnya ada beberapa kisahan dari dua buku babon tersebut yang tidak ditulis secara detail, namun hal ini dapat menjadi tantangan bagi para peneliti sejarah budaya pencak silat melalui tinjauan dan kajian lebih lanjut. Misalnya, seperti nama kampung atau wilayah asal Muhammad Kosim di Pagarruyung tidak disebutkan secara pasti, mengingat wilayah yang menjadi bagian dari bekas Kerajaan Pagarruyung itu begitu luas, mencakup tiga wilayah adat yaitu darek (luhak),  rantau, dan pasisia (pesisir). Namun jika merujuk pada buku Rd. Nunung Ahmad Dasuki yang menyebut Pagarruyung yang berada di wilayah Minangkabau di Sumatera Wetan (timur), kemungkinan Mamak Kosim berasal dari wilayah rantau atau pasisia (pesisir) di timur Sumatera yang di zaman Belanda secara administratif disebut Sumatra Oostkust, dimana meliputi wilayah sekitar Dharmasyara, Jambi dan Riau. Asumsi wilayah budaya ini didukung pula oleh uraian di buku Sadjarah Kaboedajaan Pentja yang menceritakan kegemaran Muhammad Kosim mengikuti “Pacu Jalur” (balap perahu)[3] di Sungai Batanghari, pun ketika meninggalkan kampung halamannya menuju Palembang melalui Sungai Batanghari yang letaknya melingkupi tiga daerah tersebut di atas.

Peta wilayah Minangkabau Timur atau Pesisir Timur yang dilalui Sungai Batanghari yang di zaman Belanda disebut Sumatra Oostkust (Sumatera Pantai Timur), meliputi wilayah Riau, Jambi hingga ke Dharmasraya di pedalaman yang merupakan perbatasan dengan wilayah administratif Sumatera Barat kini. Sumber KITLV.

Begitu pula dengan latar belakang Muhammad Kosim yang hijrah ke Jawa yang menimbulkan pertanyaan yang patut ditinjau, dimana berdasar uraian di kedua buku tersebut beliau diusir dari kampung halamannya karena mengajarkan silek kepada khalayak umum. Dari tinjauan budaya Minang bahwa mempelajari silek bukanlah suatu hal yang eksklusif seperti di Cianjur yang dulu hanya boleh dipelajari oleh kalangan menak atau bangsawan saja. Silek sebagai unsur budaya Minangkabau telah melekat menjadi suatu kesatuan dengan orang Minang, tradisi “Lalok di surau jo baraja silek” (tidur di surau dan belajar silat) dialami oleh hampir semua anak-anak lelaki Minang dari segala lapisan masyarakat. Hampir di tiap desa dapat dijumpai Sasaran Silek (tempat latihan silat).

Asumsi penulis, jika melihat rentang waktu hidup Muhammad Kosim yang lahir tahun 1766 dan wafat tahun 1880, tidak menutup kemungkinan jika beliau hijrah meninggalkan tanah Pagarruyung karena latar belakang terjadinya perang saudara antara kaum ulama pembaharu dengan golongan adat dimana Muhammad Kosim menjadi bagiannya. Atau yang dikenal dalam penulisan sejarah nasional sebagai Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1803 hingga 1838. Dimana pada tahun 1815 sebagian keluarga istana Kerajaan Pagarruyung banyak yang terbunuh di Tanah Datar. Momen ini menjadi logis bila Muhammad Kosim yang saat itu berusia 49 tahun merupakan bagian dari keluarga istana yang membela golongan adat melarikan diri dan meninggalkan Pagarruyung.

Dalam pelariannya, Muhammad Kosim menumpang kapal yang ingin menuju Batavia dan bekerja sebagai pembantu matros[4]. Ketika kapal merapat di Pulau Onrust (Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta)[5], kapten kapal yang berasal dari Palembang mengadakan permainan sayembara merebut uang 100 ringgit dari kakinya. Muhammad Kosim mengikuti permainan itu. Semula hanya permainan hiburan belaka namun berakhir menjadi malapetaka dengan kematian sang kapten kapal di tangan Muhammad Kosim. Untuk menghindari amukan matros-matros lainnya, Muhammad Kosim melompat ke sekoci dan melarikan diri, namun di perjalanan sekocinya terhempas badai dan berusaha berenang hingga ombak membawanya ke pesisir Batavia yang berjarak 20km ke Pasar Ikan. Di Pasar Ikan[6], dengan modal uang 100 ringgit yang direbutnya dari kapten kapal, Muhammad Kosim berdagang ikan[7]. Namun selama tiga bulan dagangannya tidak membawa hasil.

Karena sudah tidak ada lagi yang diharapkan di Batavia, Muhammad Kosim pergi menuju timur melewati Bogor hingga sampai di alun-alun Kota Cianjur. Selanjutnya Muhammad Kosim meneruskan perjalanannya ke Desa Sabandar dan berjumpa dengan penunggu kebun yang membantunya diterima bekerja sebagai pengurus kebun Rd. Enoh salah seorang murid utama Rd. H. Ibrahim pengkreasi Maenpo Cikalong yang kelak juga menjadi salah satu murid utamanya.

(Bersambung…)


[1] Rd. Obing Ibrahim, Sadjarah Kaboedajaan Pentja, Pengharepan, Bandung 1938. Hlm. 26-27.

[2] Rd. Nunung Ahmad Dasuki, Riwayat Penca Cikalong Sareng Sabandar, 2016. Hlm. 15.

[3] Umumnya lomba pacu jalur di zaman dahulu yang diikuti kalangan adat disertai dengan taruhan dan judi.

[4] Kata serapan dari bahasa Belanda; matroos yang berarti pelaut.

[5] Rd. Nunung Ahmad Dasuki, Riwayat Penca Cikalong Sareng Sabandar, 2016. Hlm. 15. Sementara di buku Rd. Obing di perairan Belitung.

[6] Rd. Nunung Ahmad Dasuki, Ibid. Kemungkinan di wilayah Batavia ini Muhammad Kosim sebagai pedagang ikan bersinggungan dengan pedagang-pedagang Tionghoa dan mengenal kata Melayu Pasar serapan dari dialek Hokkien yaitu “Main Po”, sebuah istilah untuk menyebut permainan judi dadu. Istilah ini sudah dikenal di kalangan Tionghoa Batavia sejak abad ke 18, secara umum diartikan sebagai permainan benteng bertahan dan menyerang dalam satu pertarungan atau dalam bahasa Belanda disebut Battement Spel (Mona Lohanda, Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia). Kemungkinan istilah “Main Po” di Batavia ini dibawa Muhammad kosim ke Cianjur sebagai nama lain bentuk permainan (pencak) ketika beliau berkelahi dengan seorang Tionghoa.

[7] Di buku Sadjarah Kaboedajaan Pentja disebut berdagang kuda.

Jalur hijrah lahir dan batin (dari kalangan adat Minang menjadi pengamal tasawuf di Jawa Barat) Muhammad Kosim atau Mamak Kosim, tokoh sentral penyebaran aliran Maenpo Sabandar di Cianjur. Sumber dok. Pribadi.