Penulis : GJ Nawi
Penelusuran Catatan Sejarah
Sejarah adalah rentetan peristiwa masa lalu yang tiada bertepi, alur ceritanya dibatasi hanya oleh lokasi dan tempat terjadinya peristiwa. Kita yang berada di masa kini tidak dapat mengetahui latar belakang dan merekonstruksi peristiwa sejarah apabila masyarakat yang mengalaminya tidak meninggalkan catatan. Catatan merupakan hal terpenting untuk melakukan penelusuran sejarah[1] . Sayangnya sedikit sekali catatan yang tertinggal mengenai peristiwa masa lalu, terlebih yang terkait dengan Pencak Silat atau ilmu bela diri Nusantara. Sedikitnya catatan masa lalu mengenai Pencak Silat, menjadi tantangan dalam pengkajian sejarah dan perkembangan Pencak Silat sebagai sebuah ilmu bela diri yang lahir dan tumbuh berkembang di Nusantara. Tidak ada data sejarah tertulis yang secara eksplisit menyebut nama Pencak Silat sebagai ilmu bela diri Nusantara (Indonesia), disamping nama Pencak Silat merupakan istilah bentukan baru[2], juga catatan-catatan sejarah baik berupa naskah kuno, prasasti, dan relief candi hanya memberikan gambaran secara umum dan istilah-istilah dalam bahasa Jawa Kuno mengenai aktivitas yang terkait dengan ilmu bela diri. Naskah-naskah kuno dan prasasti di Nusantara yang ditemukan dan telah diteliti oleh beberapa pakar sejarah dan epigraf Belanda (N. J. Krom, Brandes, dll) maupun Indonesia (Boechari, R. M. Poerbatjaraka), beberapa diantaranya yang ditemukan di Jawa ada indikasi yang mengarah pada bentuk kegiatan bela diri. Seperti naskah-naskah hukum (awig-awig) dan prasasti dari abad 9-10 masa Dyah Balitung dan Majapahit dari abad 13-15. Antara lain pada prasasti Mantyasih (907 M), menceritakan tentang lima orang Patih yang ditugaskan untuk menumpas penjahat penggangu ketentraman desa yang terletak di sekitar Gunung di Pare, Kediri (abad 14 M) menceritakan perkelahian dua orang yang melakukan teknik puntiran kepala. Lalu pada relief kaki Candi Borobudur (abad 9 M) di Jawa Tengah juga terdapat adegan yang hampir sama, dimana kedua orang tampak sedang melakukan perkelahian dengan mengarahkan serangan ke arah kepala. Istilah Pencak dan Silat secara literasi baru ditemukan pada naskah lokal, yang mana kata Pencak lebih umum ditemukan di daerah Jawa sedangkan kata Silat lebih umum ditemukan ddaerah dengan kebudayaan Melayu seperti di Sumatera dan Kalimantan. Naskah syair Kerajaan Pontianak yang ditulis beberapa tahun setelah berdirinya Kerajaan Islam Pontianak (1771 M),


pada bait ketiga secara eksplisit menyebut istilah Silat untuk ilmu bela diri yang diajarkan kepada Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie;
“Baginde senyum seraye berkate
Jikalau suke rasenye cite Tuan-tuan yang mude ajarkan kite,
Diajarkan Silat bermaen senjate.” [3]
Sementara di tanah Jawa dimana istilah Pencak lebih umum digunakan dapat ditemukan pada Sejarah Banten yang mengutip dari naskah Perimbon Banten, menceritakan tentang mobilisasi masyarakat Kesultanan Banten di bawah pimpinan Kyai Tapa, Ratu Bagus Buang, Pangeran Waseh (Kasemen), dan Pangeran Aria Adi Santika (adik Sultan Djainul Arifin) dalam perlawanan menghadapi Sultan Haji dan Belanda. Salah satu cara memobilisasi masyarakat itu dilakukan dengan mendirikan banyak Perguruan Pencak[4].
“Pengguron Pentjak diperbanjak dan dipertinggi, laki-laki 10-50 tahun beladjar menggunakan sendjata siku dan klewang, pasar2 banjak mendjual keris, sekin, dan belati, separuh rakjat daerah bersiap.”[5]
Linimasa Pencak Silat
Perkembangan kebudayaan dipengaruhi oleh faktor-faktor, antara lain ras atau manusia sebagai pendukung kebudayaannya itu, lingkungan geografis, perkembangan teknologi, hubungan antar bangsa (penetration pasifique, akulturasi, difusi, culture creise), faktor sosial, faktor prestise, dan faktor mode. Ilmu bela diri yang merupakan unsur dari sebuah kebudayaan juga turut mengalami perkembangan, secara garis besar digunakan untuk pemenuhan kebutuhan atas dasar peran dan fungsinya di masyarakat. Dalam proses perkembangannya, Pencak Silat sebagai ilmu bela diri Nusantara sampai kini telah mengalami perjalanan waktu waktu yang cukup panjang. Di latar belakangi oleh fungsi dan kegunaannya yang antara lain karena;
- – Pengaruh lingkungan Alam dan Peranan tokoh atau figur seseorang di salah satu tempat sebagai sosok Primus Interpares[6].
Entitas ilmu bela diri (embrio Pencak Silat) muncul dikarenakan seseorang atau sekelompok orang yang ingin mempertahankan dan melangsungkan hidupnya (survival) dari ancaman binatang buas maupun gangguan dari manusia atau kelompok lain[7] , dari seseorang atau sekelompok orang itu mengandalkan satu figur pemimpin. Figur pemimpin sebagai sosok sentral yang dituakan dituntut untuk memiliki kecakapan dan pengetahuan lebih di segala bidang, tempat untuk bertanya dan meminta pendapat, bahkan tempat berlindung dari segala bentuk ancaman fisik. Pemimpin dari suatu komunitas atau masyarakat sebuah pedukuhan atau komunitas kecil ini pada awal-awal abad masehi disinyalir dapat menjadi tokoh sentral terbentuknya suatu ilmu bela diri.
Ketergantungan masyarakat terhadap satu figur pemimpin di pedukuhan yang dipandang memiliki kelebihan dalam hal usia, pengalaman, keberanian, kekuatan, dan pengetahuan ketimbang anggota masyarakat lainnya menjadikan pengetahuan membela diri ini berjalan secara tidak kolektif. Seiring perjalanan waktu, sifat yang cenderung individual ini ditularkan ke lingkungan dan koloni terdekat meski dalam ruang lingkup tertutup, sehingga kemungkinan telah mulai dikenal istilah penamaan hirarki guru dan murid.
- Sebagai Sarana Ritual
Pada masayarakat Nusantara masa lalu, kemunculan ilmu bela diri dilatar belakangi oleh fungsinya sebagai upacara ritual keagamaan. Di masa Pra Hindu-Budha konsep kepercayaan yang memuliakan kekuatan kepada zat hidup “getah-getih” mendorong kegiatan manusia untuk melakukan ritual pengorbanan dengan cara mengeluarkan darah dari bagian anggota tubuhnya (blindarah atau tabuh rah)[8] , seperti ritual memohon hujan di kala musim kemarau panjang, adanya darah yang tertumpah ke bumi diyakini masyarakat kala itu sebagai perlambang kesuburan juga sebagai pertanda bahwa permohonannya akan terkabul. Ritual yang bersifat adu fisik akan berakhir bila salah satu pelaku ritualnya ada yang mengeluarkan darah seperti yang kini terdapat dalam Ujungan (Jawa Barat, Jawa Tengah dskt), Beladukan dan Perisean/Gebug Ende (NTB), Mekare dan Magebug (Bali), dan lain sebagainya.
ilmu bela diri, seperti gerak, langkah maupun jurus. Dalam Kakawin Negarakertagama (pupuh 27:2) menyebut gulat dan bergumul (tarung):
Tan tunggal/tikanan wilaca ginawe narendrakasukhan, sin wastwasuna tustacitta rikanan pradeca winanun, baryyan karakhan/cramacrama maweh jner nin umulat, singih dewa manindarat/juga siran lumanlan I jagat. ——-
Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan. Berbuat segala apa yang membuat gembira penduduk. Menari topeng, bergumul, bergulat, membuat orang kagum. Sungguh beliau dewa menjelma, sedang mengedari dunia.
Kemudian dalam Plentih Cerita Cupak-Gerantang (Lombok) ketangkasan memukul rotan Perisean sebagai salah satu sarana hiburan sekaligus menguji keberanian dan kesaktian kala itu, demikian pula pada Babad Usana (Tenganan, Pagringsingan, Bali) menggambarkan bahwa mengadu pandan berduri atau Mekare[9]. disebut sebagai sarana hiburan sekaligus menempa fisik dan bela diri sebelum pergi berperang[10].
Setelah unsur-unsur ilmu bela diri yang telah melebur menjadi seni profan itu, belakangan hari menjadi sarana dalam kegiatan perekonomian bagi si pelaku, seperti Palang Pintu di Betawi, Benjang di Bandung, Randai di Minangkabau, Lawa Botting di Bugis, Dodengo (ilmu bela diri Jako) di Halmahera Barat dan Cakalele (ilmu bela diri Hasa) di Ternate, Maluku Utara, dan lain sebagainya.
– Penunjang Angkatan Perang. Ketika sekelompok orang membentuk sebuah komunitas hingga menjadi sebuah bangsa, kemudian membentuk sistem pemerintahan yang memerlukan angkatan perangnya, maka ilmu bela diri dibutuhkan sebagai sarana mempertahankan diri atau invasi memperluas area kekuasaan, khususnya pada peperangan yang bersifat konvensional dan dua dimensi.
Di masa Kerajaan Demak terdapat tradisi untuk melatih para prajuritnya yang dikenal sebagai Kaprawiran Kaliyan Kekendelan seperti melatih ilmu bela diri fisik seperti gerak serang bela tangan kosong, bermain senjata tajam dan memanah yang acaranya dilangsungkan pada setiap hari Sabtu atau Senin. Tradisi mingguan ini disebut Setonan atau Senenan, yang terus dilanjutkan hingga masa Kerajaan Mataram[11]. Di Kesultanan Banten pada masa Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulqadir berkuasa terdapat tradisi Perang Segeng, dimana para prajurit-prajurit Banten mempertontonkan hasil latihan Pencak dan Debus kepada Sultan dan masyarakat[12] di muka umum.
Periodesasi Sejarah Perkembangan Pencak Silat Nusantara
Perjalanan ilmu bela diri Nusantara memiliki tahapan atau periodesasi yang masingmasing periode tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan bentuk dan model ilmu bela diri yang sekarang disebut sebagai Pencak Silat ini.
-Periode Kerajaan.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa periode masa kerajaan HinduBudha, Pencak Silat belum secara jelas termaktub dalam catatan-catatan sejarah meski ada indikasi dari beberapa naskah, prasasti, dan relief candi yang mengarah pada gambaran adanya unsur ilmu bela diri termasuk teknik dan strategi berperang. Pada masa pemerintahan Erlangga di Kerajaan Kahuripan telah dikenal penamaan ilmu bela diri yang disebut Eh Hok Hik yang berarti Maju Selangkah Memukul[13]. Di Kerajaan Sunda Pajajaran terdapat 20 teknik dan strategi perang, termaktub dalam naskah Siksakandha Ng Karesiyan pupuh 181[14].
Di zaman kerajaan-kerajaan Islam baru mulai ditemukan istilah Pencak dan Silat, yang digunakan sebagai penunjang angkatan perang, alat mempertahankan kedaualatan dan mempeluas daerah kekuasaan kerajaan. Setiap prajurit dibekali ilmu Pencak Silat yang tingkatannya akan mempengaruhi jenjang kepangkatan, seperti Senapati (panglima) dan Hulu Jurit (komandan pasukan) yang harus memiliki kemampuan ilmu Pencak Silat yang lebih tinggi dibanding punggawa (prajurit) kerajaan. Di Kesultanan Banten pada masa Maulana Hasanuddin berkuasa dikenal satu pasukan khusus yang terdiri dari beberapa Jawara (ahli ilmu bela diri) yang disebut Tambuh Sangkane (Rahasia)[15] , di Kerajaan Bone masa kekuasaan La Pawawoi Karaeng Sigeri (Raja Bone ke XXXI) dikenal satu pasukan yang terdiri dari para pendekar Mammenca’16 yang disebut Laskar Pakkanna Passiuno (Laskar To Warani atau Berani Mati) lalu di Kerajaan Islam Pontianak Silat Tembong dijadikan sebagai ilmu bela diri resmi prajurit kerajaan. Para pendekar pencak silat lebih diprioritaskan untuk dijadikan pimpinan prajurit, pelatih ilmu bela diri para prajurit d istana kerajaan (Pamuk) atau setidaknya sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban.
Secara perseorangan di lingkungan kerajaan yang ada di Nusantara, Susuhunan Pakubuwono ke III – Raja Kasunanan Mataram Surakarta merupakan pengkreasi Pencak Silat Mataram (Kasunanan Surakarta), yang keilmuannya selanjutnya diturunkan kepada cucunya yaitu R. M. Sulomo. R. M. Sulomo ketika menjadi raja bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A) Mangkunegoro II dan dijuluki Panglima Perang Seluruh Tanah Jawa[16] atau Pangeran Adipati Prangwadana sekaligus komandan pertama Legiun Mangkunegaran yang legendaris dengan pangkat kolonel.
Periode Kolonial
Periode Kolonial Belanda Merupakan periode transisi dari periode Kerajaan ke periode Kemerdekaan, dimana masa kolonial Portugis, Inggris dan Belanda menancapkan kukunya di Nusantara. Masa Kolonial Portugis dan Inggris yang singkat tidak banyak meninggalkan jejak sejarah soal ilmu beladiri Nusantara atau Pencak Silat. Berbeda dengan ketika Belanda menguasai Bumi Nusantara yang memilik masa cukup lama, Pencak Silat mengalami “perlambatan”[17] terutama di daerah yang jumlah dan tingkat perlawanannya terhadap pemerintah kolonial cukup tinggi, seperti di daerah Banten. Namun untuk daerah-daerah lain yang dianggap “lunak” kegiatan pencak silat berjalan seperti biasa, terutama bentuk Pencak Silat yang mengacu pada kegiatan berkesenian.
Pada masa ini muncul sosok dengan sebutan jago dan jagoan sebagai orang yang memiliki kemampuan Pencak Silat, kemunculannya ditanggapi pemerintah kolonial Belanda dengan tindakan segregasi dan politik Divide et Impera, yaitu merekrut orang-orang pribumi yang kepandaian ilmu bela dirinya menyamai seorang jago. Orang-orang ini karena latar belakang yang bermacam-macam dijadikan alat penguasa di tanah-tanah perkebunan, umumnya dipekerjakan sebagai mandor, centeng, atau tukang pukul. Bahkan dalam struktur birokrasi pemerintahan tidak jarang dari mereka diberi kedudukan resmi seperti di kota Batavia sebagai usat VOC terdapat jabatan Wijkmeester (tuan Bek) dan Serean[18] Di mata masyarakat pribumi, kedudukan mereka sebagai orang yang piawai dalam hal ilmu bela diri namun lebih membela kepentingan pemerintah kolonial dan tuan tanah dengan cara menindas rakyat, dianggap menyalahi kedudukannya sebagai jago, karenanya mereka cenderung disebut jagoan. Dengan kata lain istilah jagoan bermakna lebih negatif ketimbang jago. Pada saat diberlakukannya Politik Etis (1901) Pencak Silat (baik bentuk seni, olah raga, maupun bela diri) mendapat ruang gerak yang agak leluasa dibanding tahuntahun sebelumnya. Pendokumentasian pencak silat dalam bentuk buku pelajaran telah mulai diterbitkan[19]. pun demikian dalam bentu foto dan audio visual. Pencak Silat acap dipertontonkan di muka umum pada acara peringatan Ulang Tahun Ratu dan dipertandingkan pada Jaarbeurs Pasar Malam di kota-kota besar di Jawa, kegiatan ini terus berlangsung hingga masa pendudukan Belanda digantikan oleh Jepang. Pencak Silat ditenggarai juga digunakan sebagai ilmu bela diri polisi dan tentara Belanda dari kalangan pribumi[20].
Dalam hal penyebarluasan, pemerintah kolonial Belanda secara tidak langsung turut membantu menyebarluaskan Pencak Silat. Seperti melalui kebijakan pembangunan Jalan Raya Pos (Groete Postweg) Anyer-Panarukan (1909/1910), aliran Pencak Silat di Jawa Barat yang dibawa para mandor dan buruh turut menyebar ke arah timur Pulau Jawa. Pembukaan area perkebunan di suatu daerah, pemerintah kolonial banyak mendatangkan tenaga buruh tani yang berasal dari daerah dengan tradisi pencak silat yang kuat, hingga berkembanglah pencak silat di daerah tersebut. Demikian pula dengan politik pembuangan para tokoh-tokoh perlawanan dan para pengikutnya, dari pemberontakan dan perlawanan yang berlangsung pada abad 18 hingga awal abad 20, beberapa aliran Pencak Silat yang dikuasai oleh para tokoh perlawanan dan pengikutnya yang diasingkan turut menyebar di daerah pengasingan[21]
Periode Kolonial Jepang
Pada masa pendudukan pemerintahan militer Jepang selama 3,5 tahun, kedudukan Pencak Silat sebagai ilmu bela diri mendapat tempat tersendiri. Pencak Silat dianggap penting sebagai sarana membangun kekuatan Djawa Baroe untuk menyokong kekuatan Asia Raya menghadapi sekutu. Pemerintah Militer Jepang (Gunseikan) di Indonesia menyadari bahwa bangsa Indonesia memiliki tradisi ilmu bela diri Pencak Silat yang dapat dimanfaatkan guna semangat Hakko-Ichiu, yaitu menanamkan arti perang di kawasan kemakmuran Asia Timur Raya menuju kejayaan dalam Perang Dunia ke II.
Dalam Propagandanya pemerintah militer Jepang menganjurkan agar Pencak Silat dipelajari oleh segala lapisan masyarakat, dimasukan sebagai bagian dari ilmu bela diri tradisional yang harus dikembangkan dengan cara memformulasikan dengan ilmu bela diri tradisional Jepang di kalangan militer. Maka terjadilah proses milterisasi Pencak Silat dimana setiap prajurit Dai Nippon diwajibkan belajar Pencak Silat, demikian pula sebaliknya pemerintah milter Jepang memberikan pelajaran kyoren (kemilteran) dan jiwa bushido (kode etik jiwa Samurai Jepang), seperti ilmu bela diri kendo, judo, jiujitsu, dsb. Untuk mempermudah para prajurit mempelajari Pencak Silat maka disusunlah standarisasi gerak jurus Pencak Silat ke dalam 12 jurus baku sebagai sebuah reproduksi, merupakan hasil formulasi para pendekar Pencak Silat dan ilmu bela diri Jepang yang dikumpulkan di Jakarta. Hingga disusun ke dalam sebuah buku oleh pendekar Soegoro dan Saksono dari Suci Hati yang berjudul Pentjak, diterbitkan oleh Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku (Balai Poestaka) pada bulan Agustus 2065 (1945 M).
Dukungan pemerintah pusat Jepang di Tokyo dalam tukar menukar pengetahuan tentang ilmu bela diri juga melalui pembentukan Kokusai Gakuyu Kai (Perkumpulan Pelajar Internasional), sebuah institusi yang diperuntukan bagi para pelajar yang berasal dari negeri-negeri koloninya. Indonesia mengirim 23 pelajar yang berasal dari 14 kota di Jawa, para pelajar inilah yang boleh dikatakan sebagai orang Indonesia pertama kali yang memperkenalkan Pencak Silat kepada masyarakat Jepang[22]
Disamping itu pemerintah pusat Jepang mendirikan laboratorium ilmu bela diri yang disebut Majelis Ilmu Berkelahi Lembaga Asia Timur Raya pada tanggal 5 Maret 1943 di Markas Besar Perhimpunan Kebaktian Negeri yang berkedudukan di Tokyo. Komite pengurus majelis itu terdiri dari 50 orang guru dan ahli ilmu bela diri Jepang, serta wakil-wakil dari Lembaga Asia Timur Raya. Salah satu program majelis ini adalah mengirimkan para ahli ilmu bela diri ke negeri-negeri di Asia Timur Raya dan mengadakan pertandingan-pertandingan atas anjuran Lembaga Asia Timur Raya di negeri-negeri koloni[23]
Pada masa ini tidak ada alasan bagi pemerintah militer Jepang untuk tidak mengembangkan Pencak Silat sebagai ilmu bela diri Nusantara, sebab Jepang membutuhkan tenaga dukungan dari daerah-daerah koloninya seperti Indonesia dan Tiongkok. Untuk hal yang sifatnya seni dari Pencak Silat dihambat seperti Pencak Silat ibingan yang menggunakan instrumen gong, kenong, bende, kempul dan sebagainya tidak diperkenankan dikarenakan bunyi suara dari instrumen-instrmen tersebut dapat mengganggu stabilitas keamanan, karena termasuk media yang digunakan pemerintah militer Jepang sebagai alat pemberi tanda bahaya, adanya serangan udara (keikaikeihoo) pada tiap-tiap kampung di Jakarta dan sekitarnya, juga di Priangan, selain bendera, kentongan, dan megaphone[24].
Periode Kemerdekaan dan Nasionalisasi Pencak Silat. Periode ini berlangsung pada tahun-tahun menjelang dan sesudah kemerdekaan, Pencak Silat menjadi salah satu alat perjuangan bangsa. Di tinjau dari sudut pandang cabang olah raga, mungkin hanya Pencak Silat lah olah raga yang mempunyai peranan penting dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Tidak sedikit para pejuang kemerdekaan yang membekali diri dengan olah raga ini, dikarenakan minimnya persenjataan modern yang dimiliki. Bung Karno sebagai pemimpin Negara pada waktu itu memberikan nasihat betapa pentingnya Pencak Silat sebagai alat untuk pembelaan bangsa dan merebut kemerdekaan, nasihat ini beliau katakan pada pidatonya di acara perpisahan Gelora (Gerakan Latihan Olah Raga) seluruh Jawa dan Madura pada tanggal 6 Agustus 1945 di Gambir Barat, Jakarta;
Boekankah bangsa Arab, bangsa jg. Tidak begitoe mengenal akan hoeroef latin, tetapi bisa merdeka, karena bangsa itoe pandai bermain dgn. alat sendjata, misalnja pedang, sangkoer, tombak, bedil, dan lain2. Oentoek mempertahankan kemerdekaannja. Djadi boekan so’al hapoesnja boeta hoeroef jg. mendjamin kemerdekaan soeatoe bangsa, tetapi djoega ilmoe Pentjak.[25]
Di sela-sela revolusi fisik merebut kemerdekaan tercetus dari para tokoh Pencak Silat untuk menjadikan Pencak Silat sebagai alat pemersatu bangsa, dengan mengakomodir Pencak Silat yang ada di tiap daerah di Indonesia menjadi satu kesatuan dalam wadah yang bersifat nasional. Gerakan yang bersifat lokal mengusung wacana persatuan ini salah satunya tumbuh di Yogyakarta, pada bulan Maret 1945 dibentuk wadah bagi pencak silat-pencak silat yang ada di Yogyakarta di daerah Wijilan, dipelopori oleh sembilan perguruan dan diberi nama Gabungan Pencak Indonesia Mataram[26].
Langkah nasonalisasi itu dimulai dari pemufakatan istilah untuk menyebut ilmu bela diri Nusantara ini, yang di tiap daerah memiliki sebutan masing-masing[27]. Maka pada tanggal 18 Mei 1948 dikukuhkanlah nama Pencak dan Silat sebagai perwujudan ilmu bela diri nasional dalam wadah IPSI (Ikatan Pencak Seluruh Indonesia). Meskipun demikian nama yang digunakan masih menggunakan hanya kata Pencak yang masih bernuansa Jawa, maka pada tahun 1953 mulai disosialisasikan istilah Pencak-Silat dengan nama Ikatan Pencak-Silat Seluruh Indonesia yang disingkat IPSSI. Hingga pada kongres di Tugu Bogor namanya menjadi Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI).
– Periode pemerintahan Orde Baru Hingga Kini
Pada masa Orde Baru perkembangan pencak silat mulai dikemas sebagai cabang olah raga, pengenalan melalui even olah raga seperti Pekan Olah Raga Nasional mulai dari PON ke III yang bersifat eksebisi hingga diadakannya pertama kali pertandingan Pencak Silat pada PON ke VIII di tahun 1973 terus dilaksanakan. Di akhir tahun 70an pengembangan Pencak Silat diarahkan ke dunia internasional dengan melakukan eksebisi ke beberapa Negara Eropa, seperti Jerman, Belanda, Australia, dan Amerika Serikat. Hingga pada tanggal 22-23 September 1979 diadakan konvensi untuk membentuk sebuah wadah Pencak Silat internasional di Indonesia yang dihadiri oleh negara Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura, dan berhasil terbentuk Persekutan Silat Antar Bangsa (PERSILAT) pada bulan Maret 1980[28].
Perkembangan Pencak Silat di masa kini sangat terbantu dengan adanya teknologi internet, melalui media sosial pendataan dan pendokumentasian Pencak Silat menjadi lebih singkat dan mudah. Menjamrnya komunitas Pencak Silat di dunia maya pada lima tahun belakangan menjadi indikator semakin maraknya dunia pencak silat, eveneven Pencak Silat semakin giat diadakan. Dengan semakin mudahnya akses internet dan kian terbukanya informasi sesngguhnya sangat membantu perkembangan Pencak Silat, tinggal tergantung kepada para pelaku dan penggiat Pencak Silat itu sendiri, apakah dapat memaksimalkan fasilitas itu untuk pelestarian dan pengembangan atau hanya sekadar sebagai ajang anjangsana dan membuang waktu?.
[1] Dalam metode sejarah, pengumpulan catatan terkait masa lalu merupakan bagian dari metode heuristik
[2] Mulai disosialisasikan pada tahun 1953 yaitu Ikatan Pencak-Silat Seluruh Indonesia (IPSSI), hingga pada Seminar Pencak Silat di Tugu, Bogor disahkan nama Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) sebagai nasionalisasi dari dua istilah Pencak dan Silat (Oong Maryono, Pencak Silat Merentang Waktu, Yogyakarta, 1998, hlm. 97).
[3] Artikel Peranan Ulama Dalam Silat, Wan Mohd. Saghir Abdullah, Utusan Malaysia, Juni 2009
[4] Pengguron Pencak Kasemen di daerah Kasemen, Serang Banten yang didirikan pada tahun 1752 menjadi hipotesis bahwa Pengguron ini merupakan perguruan pencak silat tertua dalam catatan sejarah.
[5] Sedjarah Banten, TBG. Roesjan, Dokumentasi Djawatan Kebudajaan Djawa Barat, Bandung, 1954, hlm. 39.
[6] Bahasa latin yang berarti nomor satu di antara sesama.
[7] Sosok Aki Tirem Luhur Mulya dalam Naskah Wangsakerta, Kitab Rajya-Rajya I Bhumi Nusantara merupakan sosok primus interpares, bersama menantunya Sang Dewawarman berusaha membela diri dari serangan para penyamun (Atja, RRBN, Depdikbud, Bandung, 1987, hlm. 193 dan 198). Meski masih menjadi polemik dalam kesejarahan, naskah Wangsakerta merupakan khasanah sejarah yang perlu menjadi perhatian.
[8] Beberapa prasasti di Bali seperti Prasasti Batuan (1022 M) dan Lontar Ciwatatwapurana menyebut adanya upacara korban darah dengan istilah Blindarah atau Tabuh Rah. Seiring dengan perjalanan waktu dan masuknya agama-agama baru ke Nusantara, ritual tabuh rah dianggap sadis, maka pada masa selanjutnya digunakanlah hewan sebagai simbol pengganti pengorbanan, seperti adu ayam, adu babi, adu puyuh, dan sebagainya (Drs. Anak Agung Gede Putera Agung, Magebug dan Mekare, Seni Tradisional di Karangasem dan Bali, Depdikbud, 1980/1981, hlm. 7 dan 34).
[9] Mekare dari kata dasar Kare, etimologi dari bahasa Bali Aga yaitu Kale/Kali yang berarti Tarung atau Perang Drs. Anak Agung Gede Putera Agung, ibid, hlm. 39.
[10] bid, hlm. 18 dan 22.
[11] Pandji Poestaka, 08 Maart 1944, hlm. 7
[12] TBG. Roesjan, ibid, hlm. 24.
[13] Notosoejitno, Khasanah Pencak Silat, Jakarta, 1999, hlm. 15. Perlu penggalian lebih dalam lagi karena dalam buku yang dikutip ini tidak ditulis sumber sejarahnya.
[14] Terjemahannya: Bila ingin tahu tentang perilaku perang, seperti: makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, sucimuka, brajapanjara, asumaliput, meraksimpir, gagaksangkur, luwakmaturut, kidangsumeka, babahbuhaya, ngali(ng)gamanik, lemahmrewasa, adipati, prebutsakti, pakeprajurit, tapaksawetrik; tanya-lah panglima perang.
[15] Salah teori tentang kesejarahan Jawara mengatakan bahwa istilah Jawara bermula dari sebutan pasukan Tambuh Sangkane ini. Nama Tambuh Sangkane tertera pada naskah Carita Parahyangan pupuh 21.
[16] Asia Raja, 25 Djanoeari 1945, hlm. 2 – Sinar Baroe, 30 Djanoeari 1945, hlm. 3.
[17] Kata “perlambatan” disini digunakan semata-mata menghindari kata “pelarangan” yang banyak diyakini masyarakat di dunia Pencak Silat, karena secara tertulis belum ditemukan sumber sejarah yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda dengan tegas dan resmi melarang Pencak Silat, baik dalam Stadblad (lembaran Negara) maupun Dagh Register (dokumen harian peristiwa atau keputusan yang terjadi di Nusantara, dicatat di pusat VOC Batavia).
[18] Wijkmeester (Tuan Bek) adalah jabatan terendah dalam birokrasi pemerintahan Stad (kota) Batavia pada Afdeling Stads en Voorsteden van Batavia (kota dan pinggiran kota Batavia) sebagai kepala kampung yang salah satu tugasnya menjaga keamanan kampung membantu Serean yang memiliki tugas pokok sebagai kepala keamanan di tingkat Onder District (kecamatan) (Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kelurahan Propinsi DKI Jakarta, Jakarta: 2001, hlm. 7, 9)
[19] Tahun 1906 pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Koninlijk Besluit no. 270 sebagai peralihan kebijakan Plaatselik Bestuur, Officier van Justite (badan yang mengawasi masalah cetakan dan penerbitan) pengawasan penerbitan buku dari preventif ke represif. Beberapa buku pencak silat sebagai ilmu bela diri berhasil terbit, diantaranya buku berjudul Selat (A. B. R. M. Tjoek terbitan Uitgeverij & Boekhandel Sadoe Boedi) dan Pentja Soenda (Sadeli Hardjawinata, terbitan Commisie voor de Volkslectuur yang kemudian berubah menjad Bale Poestaka).
[20] Lihat koleksi foto KITLV dan Tropenmuseum Belanda. Beberapa Pendekar Pencak Silat ada yang berprofesi sebagai polisi atau tentara KNIL, seperti Mohammad Toha pengkreasi Pencak Silat Sin Lam Ba adalah seorang Polisi di zaman Belanda.
[21] Beberapa alran pencak silat di Jawa Tengah dan Jawa Tmur ada yang memiliki kesamaan khas dan karakter dengan alran pencak silat di Jawa Barat, di Madura terdapat Pencak Sondeh yang berate Pencak Sunda (diskusi dengan Oong Maryono), lalu di Nusa Tenggara terdapat Pencak Silat Mang Ujang. Tokoh-tokoh perlawanan daerah seperti Tuanku Imam Bonjol dari Minangkabau beserta pengikutnya yang dibuang ke Pineleng, Minahasa, turut membawa aliran pencak silat Minangkabau. Salah satu Dubalang (panglima perang) yang bernama Bagindo Tan Labih selain menurunkan nama marga/fam Baginda juga menyebarkan Silek Tinju Sambuik Sapuluah dan tersebar luas di Minahasa, dikenal sebagai Silat Cakak atau Silat Baginda. Begitu pula dengan tokoh perlawanan Perang Jawa seperti Kyai Maja yang diasingkan ke Tondano, selain menurunkan keturunan Jaton (Jawa Tondano) Kyai Maja dan para pengikutnya turut pula membawa dan menurunkan Silat Kampung Jawa pada sebuah Perguruan Silat Satria Kyai Maja. Pada sekitar tahun 1920an daerah Simalungun, Sumatera Utara dibuka perkebunan kopi dan teh, sebagian besar buruh tani didatangkan dari Priangan Jawa Barat (Bogor, Cianjur, dan Sukabumi) karena memiliki pengalaman dalam hal perkebunan the dan kopi. Pencak silat yang di Simalungun dikenal sebagai Mandihar, pada bagian gerak dan jurus terdapat istilah Simanjei yang merupakan pengucapan lidah lokal terhadap Cimande. Terdapat pula ritual meneteskan cairan ramuan tumbuhan sebagai bagian dari proses belajar silat yang dalam bahasa lokal disebut maneteki.Ritual ini merupakan khas dari aliran pencak silat Cimande atau aliran pecahan maupun aliran yang dipengaruhinya, dikenal dengan istilah peureuh atau kecer.
[22] Pewarta Perniagaan, 30 April 1943, hlm. 2.
[23] Sumatra-Sinbun, edisi 17 April 1943, hlm. 6
[24] Tjahaja, edisi 01 Djoeni 1944, hlm. 2.
[25] Borneo Shimboen (Bandjermasin), 19 Agustus 1945
[26] Sinar Baroe dan Tjahaja, 24 Maart 1945.
[27] Istilah lokal untuk menyebut ilmu bela diri di tiap-tiap daerah antara lain, Minangkabau dan Semenanjung Melayu menyebutnya dengan Silek, Silat, Gayung, dan Cekak/Cakak. Di Tapanuli disebut Marmoncak/Monsak (Batak Toba), Ndikkar (Karo), Mandihar/Dihar (Simalungun). Betawi disebut Silat, Maen Pukulan dan Maen Akal. Di Jawa Barat disebut Pencak, Amengan, Ulinan, dan Maenpo. Di Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura dan Bali disebut Pencak. Di Bugis disebut Mammenca’ dan Ma’Sila, Makassar disebut A’manca’, dan lain sebagainya.
[28] Oyong Kramayuda, Prospek Pengembangan Pencak Silat di Kalangan Perguruan Tinggi Asean, PP, 2001.
Recent Comments