Dukungan anda kepada Tangtungan Indonesia akan sangat membantu kami dalam usaha pelestarian dan promosi Pencak Silat sebagai budaya warisan Indonesia. Silahkan kunjungi link berikut untuk mendukung kami : https://sociabuzz.com/tangtungan/support

Penulis : GJ Nawi

Pitung adalah fenomena, tokoh sejarah Betawi yang telah menjadi legenda sebagai tokoh perlawanan kaum tertindas masyarakat Betawi terhadap tuan-tuan tanah dan pemerintah kolonial Belanda. Sosoknya sebagai legenda tidak terlepas dari peran setiap orang yang membuat cerita hingga bukan mendekatkannya kepada kebenaran sejarah, malah sebaliknya menjadi absurd dan penuh tanda tanya.

Sebagai tokoh sejarah, Si Pitung banyak diberitakan dalam sumber-sumber sejarah primer harian berbahasa Belanda maupun Melayu, yang ditulis pada saat peristiwa berlangsung, seperti: Bataviaasch Nieuwsblad, De Locomotief, Java Bode, Hindia Olanda, Medan Prijaji, Pembrita Betawi, dan Bintang Barat dan lain-lain. Pada awalnya sosok Pitung adalah sosok yang misterius, namanya tidak diketahui secara jelas.

Siapakah Si Pitung?

Dalam harian berbahasa Melayu Hindia Olanda yang pertama kali mengemukakan tentangnya tertanggal 28 Juni 1892 hal. 3 menyebut namanya “Pitang” dan “Bitoeng.” Nama “Pitoeng” baru mulai ditulis secara konsisten pada terbitan dua bulan berikutnya, berita harian tertanggal 28 Agustus 1892.

Pitung merupakan nama alias dari Salihun, yang ditengarai sebagai nama pimpinan dari sebuah kelompok Bendewezen (gang) atau kelompok pengganggu Rust en Orde (kedamaian dan ketertiban) pemerintah kolonial, dengan cara-cara melakukan tindakan kriminal kekerasan, seperti merampok dan membunuh. Sebagaimana yang ditulis dalam harian berita yang beredar pada saat itu dan Algemene Secretarie, kelompok ini terdiri dari anggota enam orang, antara lain: Salihun alias Pitung, Abdulrahman, Mujeran, Merais, Dji’ih, dan Gering.[1]

Ilustrasi seorang pribumi yang melakukan resitensi terhadap polisi atau pemrintah kolonial Belanda di Batavia dengan cara melakukan tindakan kriminal.

De Locomotief, Senin, 27 Februari 1893.

Salihun alias Pitung berasal dari Rawabelong, Kampung Sukabumi yang pada masa kolonial secara administratif berada di bawah distrik Kebayoran, afdeling Meester Cornelis, Residensi Batavia.

Tidak ada informasi baik dalam data harian surat kabar yang beredar pada saat itu tentang latar belakang keluarga (ayah-ibu), selain dari nama adik, kakak angkat, isteri, dan cucunya. Ditengarai oleh De Sumatra Post, Senin, 27 Juli 1901 hal. 5 nama isteri Salihun alias Si Pitung adalah Bok[2] atau Nyai Sarinah. Begitu pula dengan kakak angkatnya yang bernama Sairin, adiknya bernama Sami’in, serta cucunya yang bernama Daim yang 30 tahun pasca Si Pitung telah menusuk seorang Indo Eropa dengan pisau belati.

Nama isteri Salihun alias Pitung yaitu dipanggil Bok atau Nyai Sarinah, De Sumatra Post, Senin, 27 Juli 1901 hal. 5.

Sairin nama saudara angkat Salihun alias Pitung, Bataviaasch Nieuwsblad, Senin, 21 Agustus 1893 hal. 2.

Sami’in nama adik Salihun alias Pitung, yang melalui penyidikan kemudian ditangkap Schout Hinne karena diduga menyusupkan senjata dan pakaian sewaktu menjenguk di penjara, De Locomotief, Jumat, 27 Oktober 1893 hal. 3.

Daim diketahui telah membunuh seorang Indo dengan pisau belati di tahun 1926, ketika dilakukan penyelidikan ternyata Daim adalah cucu dari Salihun alias Pitung, tokoh terkenal 33 tahun yang lalu. De Indische Courant, Kamis, 20 Juli 1926.

Ciri dan fisik Pitung

Ciri dan fisik Pitung digambarkan dalam surat asisten residen Riau kepada Raja Ali Haji untuk membantu memburu Pitung yang kabur dari penjara Meester Cornelis, dan disinyalir melarikan diri ke Singapura melalui kepulauan Riau.

Ciri-ciri fisik Salihun alias Pitung sebagaimana yang disebutkan surat Asisten Residen Riau kepada Ali Haji untuk membantu memburu Salihun alias Pitung dan Ji;ih pelarian penjara Meester Cornelis. Pitung digambarkan sebagai orang yang tinggi, wajah garang, bertubuh sedang gemuk, hitam manis, berwajah bulat (ANRI).

Apa Ilmu Bela Diri dan Senjata Si Pitung?

Tidak ada satupun arsip atau harian surat kabar yang menjelaskan perihal ilmu bela diri atau pencak silatnya Salihun alias Pitung, namun dari beberapa harian surat kabar yang memberikan gambaran seorang Jago, Jagoan, Rampok, Bandit di masa itu umumnya memiliki kemampuan ilmu bela diri, yang umumnya adalah maen pukulan atau pencak silat sebagai ilmu bela diri tradisional orang Betawi. Begitu pula nama aliran pencak silatnya, sebagian masyarakat menyebut nama aliran maen pukulan Cingkrik sebagai aliran maen pukulan khas Rawabelong sebagai ilmu silatnya Pitung, namun hal ini diragukan oleh sesepuh Rawabelong, Nur Ali Akbar (alm), karena masa Si Pitung jauh mendahului masa terciptanya aliran Cingkrik yang dikreasikan oleh Ki Maing yang diperkirakan pada awal abad XX[3].

Penggambaran tentang bagaimana seorang Jago, Jagoan, Rampok, atau bandit di masa colonial yang memiliki kemampuan ilmu bela diri, bahkan memberikan pelajaran selama di penjara. Het Nieuws Van De Dag, Rabu, 23 Maret 1938 hal. 3.

Di beberapa harian surat kabar diceritakan tentang senjata yang digunakan Salihun alias Pitung dan kawan-kawan, untuk senjata tajam Salihun biasa membawa pisau badi. Sementara senjata api memegang dua jenis revolver yang menurut Harian Bataviaasch Nieuwsblad, 26 Maret 1892 revolver itu hasil dari merampok rumah Tuan Tanah Tionghoa di Tanah Tinggi. Adapun jenis revolver hasil analisa seperti tampak di foto.

Jenis Revolver Dutch Army, Hembrug 1873. Sumber Netherland Guns.

Makam Si Pitung

Sepak terjang Si Pitung dalam melakukan resistensi terhadap polisi yang mewakili pemerintah kolonial berakhir pada hari Sabtu, tanggal 14 Oktober 1893. Berhasil ditangkap dan dilumpuhkan dengan beberapa tembakan di wilayah pekuburan Cina di Petojo Udik (Kota Bambu) (Java Bode, 16 Oktober 1893, hlm 2.). Dalam keadaan luka parah Pitung dibawa ke Rumah Sakit Stadsverband di Glodok. Karena luka-lukanya, pada hari Sabtu pukul setengah tujuh malam tanggal 14 Oktober 1893, Pitung wafat (Bataviaasch Handelsblad, 16 Oktober 1893, hlm. 3).

Si Pitung dimakamkan di Krekot, makamnya dijaga siang malam untuk menghindari dari masyarakat yang datang mengkultuskan dan mengkramatkan makamnya hingga dikhawatirkan akan menimbulkan perlawanan baru terhadap pemerintah (Soerabaijasch Handelsblad, 24 Oktober 1893, hlm. 2).

Makam Pitung di Krekot, Soerabaijasch Handelsblad, 24 Oktober 1893, hlm. 2.

Si Pitung Pejuang atau Penjahat?

Bukan hanya Pitung, di akhir abad 18 adalah masa dimana Bandit dan Rampok merajalela. Kehadiran mereka disinyalir sebagai jawaban atas kondisi kehidupan saat itu, dimana terjadi gap yang sangat jauh antara Si Kaya dan Si Miskin. Si Kaya yang diwakili para Tuan Tanah dan penguasa kolonial berlaku sewenang-wenang dalam mencari kekayaannya, dengan cara memeras dan menekan masyarakat miskin yang menjadi buruh atau pekerjanya.Beberapa resistensi yang dilakukan dalam bentuk perampokan atau mengganggu kedamaian dan ketertiban (Rust en Orde) antara lain oleh beberapa kelompok, seperti; Si Gantang, Sakam allias Sarkam, Ardini, Entong Tolo dan lain sebagainya.

Adalah wajar kondisi perekonomian yang suram dan tidak ada lagi kepercayaan kepada pengelola negara maka jawabannya adalah perlawanan. Terlepas bentuk perlawanannya dengan cara apa, para rampok dan bandit itu telah melakukan resistensi terhadap penguasa.

Lihat lampiran bagaimana Si Pitung  sebagai sosok yang ditakuti sekaligus dicintai (masyarakat).

Kalimat ‘hoe gevreesd of bemind Pitoeng” mengindikasikan bahwa Si Pitung sebagai sosok yang ditakuti sekaligus dicintai masyarakat. Handesblad, 5 Juli 1893 hal. 7 dan Deli Crt. dikutip dari Java Bode.

[1] Sudah menjadi kelaziman nama seseorang yang menonjol atau yang menjadi pemimpin dari anggota lainnya dinisbatkan menjadi sebutan nama kelompoknya. Sumber sejarah ini juga mematahkan pendapat yang menyebut bahwa Pitung merupakan akronim dari bahasa Jawa Pituan Pitulung yang berarti tujuh orang yang saling menolong.

[2] Bok atau Embok Istilah kekerabatan masyarakat Betawi untuk panggilan istri saudara (saudara sepupu), Abdul Chaer, Kamus Dialek Jakarta, Masup, Jakarta, 2009. Hlm. 58.

[3] Wawancara bulan September 2007 di Rawabelong.