-The Untold Story-

Penulis : GJ Nawi

Gan Obing atau Raden Ibrahim bin Raden Haji Abdullah Sirad, adalah seorang pendekar Maenpo Cianjur yang tidak saja jenius dalam memformulasikan perbendaharaan keilmuan maenponya menjadi Maenpo Suliwa tetapi juga pandai dalam merangkai kata dan kalimat serta peduli kepada dunia literasi dan pendokumentasian. Sebagaimana buku yang telah disusunnya di tahun 1938, berjudul Sadjarah Kaboedajaan Pentjak yang diterbitkan oleh Pengharepan, Bandung.

Buku Sadjarah Kaboedajaan Pentjak yang ditulis Gan Obing ini dapat dikatakan sebagai babon buku sejarah mengenai riwayat Maenpo di Cianjur dan tokoh-tokohnya, menjadi sumber rujukan sekunder yang terlengkap dan terdekat mengingat penulisnya mengalami apa dan siapa yang ditulisnya dalam buku itu. Banyak peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian penting menarik berkenaan tokoh-tokoh Maenpo Cianjur, baik itu R.H. Ibrahim sang pengkreasi Maenpo Cikalong maupun Mamak Kosim sang penyebar Maenpo Sabandar beserta murid-muridnya. Namun di sisi lain ada satu yang menarik karena yang berkaitan dengan penulis buku Sadjarah Kaboedajan Pentjak, atau Gan Obing sendiri dimana peristiwa atau kejadian penting yang menarik untuk diceritakan tidak tertulis dalam buku tersebut. Begitupun di buku-buku lainnya yang terkait dengan riwayat maenpo Cianjur, karenanya cerita ini menjadi sebuah kisahan yang benar-benar terjadi dan menjadi untold story.

Sebagai seorang guru pencak atau Maenpo yang terkenal memiliki banyak murid[1] di usia yang tidak lagi muda, Gan Obing dilahirkan di Cianjur pada tanggal 27 Safar 1277H atau 25 September 1859[2]. Mesi tidak lagi berusia muda, sebagai seorang guru pencak atau maenpo, Gan Obing kerap mendapat tantangan untuk bertarung. Bahkan tantangan pertarungan yang harus mempertaruhkan agama beliau pernah ladeni ketika mendapat tantangan dari seorang Jago Kuntao asal Shantung, Tiongkok, bernama Liem Kong. Cerita yang unik dan menarik itu sebagaimana yang ditulis dalam majalah Pandji Poestaka, 18 Juli 1942 atau ditulis sebelum lama beliau wafat.

Pada satu hari datang kepada Gan Obing seorang Tionghoa asal Kota Shantung di Tiongkok, bernama Encek Liem Kong. Sebagai seorang yang menguasai ilmu bela diri kuntao, Encek Liem Kong penasaran dengan kemashyuran Gan Obing sebagai guru dan pendekar pencak atau maenpo. Untuk itu Liem Kong mengajak Gan Obing untuk bertarung, dengan syarat yang sungguh membuat kaget. Karena siapa yang kalah harus menanggalkan keyakinan dan agamanya dan mengikuti keyakinan atau agama yang menang. Artinya bila gan Obing kalah maka Gan Obing harus memeluk agama Konghucu sebagaimana agama yang dipeluk Encek Liem Kong. Begitupun sebaliknya, bila Encek Liem Kong kalah maka ia akan suka rela untuk memeluk agama Islam sesuai keyakinan yang dipeluk oleh Gan Obing.

Singkat cerita, pertarungan dapat dimenangkan oleh Gan Obing dan Encek Liem Kong bersedia untuk memeluk agama Islam bahkan mengangkat Gan Obing sebagai guru barunya. Sebagai bentuk kesungguhan dan syarat memeluk Islam, maka Encek Liem Kong mengucap dua kalimat syahadat dan dikhitan. Pada saat itu yang mengkhitan sorang Bengkong[3] yang berasal dari Cageundang, bernama Abah Ain.

Dengan disaksikan oleh Raden Moeksin Agan Apit dan Neng Ebeng laloe Encek Liem Kong berganti agama masoek Islam dengan berganti nama Moehammad Saleh.

Foto Rd. Obing atau Gan Obing (Rd. Ibrahim bin raden Haji Adullah Sirad, Sumber Sadjarah Kaoedajaan Pentjak, 1938)


[1]Di Cianjur sejak tahun 1906 Gan Obing yang melatih bersama-sama Raden usrin dan Raden Apit dikenal sebagai guru-guru yang mengajar pencak dari Kelompok Kaum. Kelompok Kaum ini merupakan satu dari tiga kelompok pelatihan Maenpo di Cianjur selain Kelompok Bojong Herang dan Kelompok Pasar Baru.

[2] Pandji Poestaka, 18 Juli 1942. Hlm. 8

[3] Dukun Sunat