Sebuah Tinjauan Sejarah dan Linguistik (Onomastik)
Dukungan anda kepada Tangtungan Indonesia akan sangat membantu kami dalam usaha pelestarian dan promosi Pencak Silat sebagai budaya warisan Indonesia. Silahkan kunjungi link berikut untuk mendukung kami : https://sociabuzz.com/tangtungan/support
Penulis : GJ Nawi
“Apalah arti sebuah nama?.”
Pertanyaan klasik dalam dialog drama percintaan Romeo dan Juliet karya William Shakespeare menjadi pertanyaan penting mengenai isu sebuah nama, suatu hal yang sebenarnya menjadi kebutuhan mendasar bagi manusia dalam aktivitas kehidupannya. Sebagai identifikasi objek agar memperlancar interaksi antar sesama.
Untuk mengetahui nama dan penamaan suatu objek manusia memerlukan pengetahuan tentang asal muasalnya, dalam bidang keilmuan disebut onomastik. Onomastik terbagi dalam dua cabang, yaitu antroponomastik dan toponomastik, antroponomastik adalah ilmu yang mempelajari nama-nama manusia, sedangkan toponomastik ilmu yang mempelajari nama tempat. Istilah toponomastik baru dipakai baru-baru ini oleh sejumlah pakar yang tergabung ke dalam International Congress of Onoastic Sciences (ICOS). Istilah alternatif seperti toponimi masih umum digunakan meskipun memuat dua makna, yaitu studi nama tempat, dan dapat bermakna nama tempat[1].
Lalu, terkait dengan nama salah satu maenpo yang dikembangkan oleh pendekar Mamak Kosim dari Pagarruyung di Cianjur yang kerap disebut dengan dua nama di kalangan dunia persilatan, yaitu Maenpo Sabandar atau Syahbandar menjadi menarik untuk dikaji baik secara historis maupun linguistik. Tulisan ini tanpa bermaksud mempermasalahkan atau bahkan memvonis “mana yang benar dan mana yang salah”, karena sejatinya dua nama tersebut (Sabandar dan Syahbandar) telah tertanam kuat dari masing-masing orang baik para praktisi maupun bukan, yang melafalkannya dengan latar belakang kesejarahannya.
Tinjauan Historis dan Onomastik
Versi pertama, Maenpo Sabandar adalah nama maenpo atau pencak silat khas Cianjur yang dikembangkan oleh seorang pendekar pencak silat asal Pagarruyung bernama Muhammad Kosim atau yang biasa dipanggil Mamak Kosim. Nama Sabandar dinisbatkan kepada maenpo ini karena Mamak Kosim pernah tinggal sekaligus mengembangkan maenpo ini di Desa Sabandar, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat[2]. Dalam terminologi bahasa Sunda, Sabandar merupakan kata majemuk dari gabungan dua kata, yaitu sa dan bandar. Sa dalam bahasa Sunda memiliki arti satuan atau sekumpulan, sedangkan bandar bermakna pengepul, sebuah profesi dalam lingkungan budaya pertanian dan perkebunan di Jawa Barat yang bekerja mengumpulkan dan memborong hasil tani dan kebun untuk kemudian dijualnya kembali[3].
Sedangkan versi lainnya, nama Maenpo Syahbandar dinisbatkan pada maenpo ini dikarenakan Mamak Kosim pernah berprofesi menjadi Syahbandar atau Sahbandar pelabuhan[4], latar belakang Mamak Kosim diangkat menjadi Syahbandar konon karena berhasil menguasai pelabuhan dengan menjatuhkan pejabat-pejabat Belanda dan menjadi orang yang sangat disegani di pelabuhan. Secara definisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, syahbandar atau sahbandar adalah pegawai negeri yang mengepalai urusan pelabuhan; kepala pelabuhan. Versi ini ditinjau secara kesejarahan tampak ahistori, karena Syahbandar di masa kolonial adalah jabatan pemerintahan kolonial termasuk ambtenaar (pegawai negeri), dalam istilah Belanda disebut Havenmeester dimana jabatan ini berada di bawah Departemen van Marine (Departemen Kelautan) yang diangkat oleh Minister van Marine Zaken (Menteri Urusan Kelautan). Hal ini didukung oleh definisi dalam KBBI.
Secara linguistik kata Syahbandar sesungguhnya merupakan perubahan gejala bahasa yang terjadi dengan adanya penambahan fonem pada tuturan, yang disebut perubahan gejala bahasa Epentesis[5]dari kata Sabandar. Dengan kata lain, kata sabandar mendapat penambahan fonem di tengah kata sa-bandar menjadi syah-bandar atau sah-bandar.
[1] Fajar Erika dkk, Toponimi, Peningkatan Kompetensi untuk Pemandu Wisata Sejarah, 2018, hlm. 3
[2] Rd. Obing (Rd. Irahim), Sadjarah Kaboedajaan Pentjak, Pangharepan, Bandung, 1938. Hlm. 26.
[3] Nama lain yang lebih umum adalah tengkulak.
[4] Ada yang menyebut Syahandar Pelabuhan Tanjung Priok dan ada pula yang menyebut Syahbandar Pelabuhan di Purwakarta.
[5] gejala bahasa berupa penambahan fonem di tengah kata.
Recent Comments