Penulis : GJ Nawi

Sebagai salah satu olah raga tertua di dunia, gulat bagi masyarakat Indonesia umumnya bukanlah olahraga yang asing. Meski sebagai olah raga yang termasuk tertua di Indonesia, keberadaan gulat sudah diadakan pada masa Kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dilihat dari kata “Umulat” dari Naskah Negara Kertagama Pupuh 27 sargah 2: karangan Mpu Prapanca;

“Tan tunggal/tikanan wilaca ginawe narendrakasukhan, sin wastwasuna tustacitta rikanan pradeca winanun , barryan karaktan /cramacrama maweh jner nin umulat, singih dewa manindarat/juga siran lumanlan i jagat.” // “Untuk mengurangi sumuk akibat teriknya matahari, Baginda mendekati permaisuri seperti dewa dewi, para putri laksana apsari turun dari khayangan, hilangnya keganjilan berganti pandang penuh heran-cengang.”

Meski sebagai olah raga yang termasuk tua di Indonesia, gulat sebagai olah raga prestasi cenderung memiliki sedikit peminat,  berbeda dengan jenis gulat tradisional yang fungsinya bukan hanya sekadar sebagai seni pertunjukkan tetapi juga ilmu bela diri. Dari catatan tentang praktisi gulat (worstelen) di tahun 40an tercatat hanya 300 orang saja praktisi gulat di Hindia Belanda, dengan rincian Tionghoa hanya 6 orang Minahasa 15 India 3 Jawa 30 Betawi 15 dan selebihnya beratus-ratus orang Soenda. Boleh jadi kebanyakan orang Soenda mempelajari olah raga gulat itu karena pada mereka itu dari dulu sudah ada olah raga goelat Benjang[1].

Meskipun demikian beberapa atlet gulat Jawa Barat memiliki latar belakang seorang “Tukang Benjang”karena Benjang sebagai sebuah ilmu bela diri memiliki banyak teknik kuncian dan bantingan. Meski cara menentukan pemenangnya sangat sederhana, yaitu peserta yang ketika dibanting dan dikunci berposisi celentang akan dinyatakan kalah, begitupun sebaliknya.

Ada banyak jenis olah raga gulat tradisional Indonesia yang memiliki karakter khas dari tiap daerahnya. Seperti Athol atau Pathol yang berasal dari Pantai Utara Jabale-bale)  wa Tengah hingga Jawa Timur, mulai dari Rembang sampai Tuban. Pathol memiliki karakter khas yang dimainkan di pantai berpasir atau Mepantingan yang berasal dari Bali mempunyai karakter permainan dilakukan di arena lumpur.

Salah satu jenis gulat tradisional yang juga mmiliki karakteristik yang khas dan bukan sekadar seni pertunjukkan karena kental dengan unsur -unsur dan teknik ilmu bela diri, adalah Benjang. Gulat tradisional Jawa Barat yang diyakini lahir dan tumbuh kembang di wilayah Kabupaten Bandung, khususnya di daerah yang pada saat zaman kolonial diebut Karesidenan Ujung Berung, meliputi Cibolerang, Cinunuk, Cibiru dan Cileunyi.

Tidak ada catatan sejarah mengenai sejak kapan seni gulat tradisional Benjang lahir di Karesidenan Ujung Berung, Kabupaten Bandung. Namun sebagai sebuah pertunjukkan seni, Benjang yang merupakan akronim dari Ben, yang bearrti amben (bale-bale) atau tempat para waditra memainkan alat musik Trebang dan Jang yang merupakan kependekan dari kata bujang atau anak-anak muda yang memainkan seni gulat tersebut.  

Benjang telah dikenal masyarakat Karesidenan Ujung Berung sejak abad ke 19 dan telah dipertunjukkan sejah tahun 1919-20an[2], namun di zaman penjajahan perkembangan Benjang sebagai sebuah ilmu bela diri berjalan lambat karena dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi dibungkus sebagai sebuah bentuk seni, yaitu Benjang Helaran dan Benjang seni tari. Secara umum Benjang berdasar jenisnya terbagi atas;

1. Benjang Seni:

-Benjang Helaran (arak-arakan)

-Benjang Seni Tari

2. Benjang Ilmu Bela Diri[3].


[1] Pandji Poestaka, 26 September 1942.

[2] Anto Sumianto Widjaya, Benjang Dari Seni Terebangan ke Bentuk Seni Bela Diri dan Pertunjukkan,2006, hlm. 3-4.

[3] Anto Sumianto Widjaya.Ibid, 2006, Hlm. 5

Tukang Benjang Gulat sedang beatanding (Sumber Pandji Poestaka, 26 September 1942).