Dukungan anda kepada Tangtungan Indonesia akan sangat membantu kami dalam usaha pelestarian dan promosi Pencak Silat sebagai budaya warisan Indonesia. Silahkan kunjungi link berikut untuk mendukung kami : https://sociabuzz.com/tangtungan/support
Penulis : GJ Nawi
Kepulauan Seribu adalah gugusan pulau-pulau yang secara administratif merupakan kabupaten administrasi yang masuk ke dalam wilayah DKI Jakarta. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri dari sebelas pulau-pulau kecil berpenghuni, antara lain Pulau Untung Jawa, Pulau Pari, Pulau Lancang Besar, Pulau Tidung Besar, Pulau Tidung Kecil, Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, dan Pulau Sebira. Selain pulau-pulau berpenghuni, terdapat pula beberapa pulau yang dijadikan sebagai pulau wisata, seperti Pulau Bidadari, Pulau Onrust, Pulau Kotok Besar, Pulau Puteri, Pulau Matahari, Pulau Sepa, dan sebagainya.
Satu diantara sebelas pulau berpenghuni adalah Pulau Panggang, yang menjadi kelurahan di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pada masyarakat Pulau Panggang terdapat folklor yang menjadi tradisi tuturan lisan yang diwariskan turun menurun tentang tokoh sakti mandraguna asal Mandar, Sulawesi Barat yang diyakini menjadi salah satu leluhur masyarakat Pulau Panggang khususnya dan Kepulauan Seribu umumnya. Nama Pulau Panggang sendiri berasal dari epos Darah Putih yang mengalahkan keganasan bajak-bajak laut asal Negeri Matahari Terbit (sebutan untuk bajak laut yang berasal dari timur Nusantara, seperti Maluku, Sulawesi dan Nusatenggara).
Saat itu masyarakat Pulau Panggang sering diganggu oleh para perompak dan bajak laut yang banyak berkeliaran di Kepulauan Seribu[1]. Karena banyaknya perompak dan bajak laut, masyarakat di Pulau Panggang merasa ketakutan, namun lambat laun muncul keberanian untuk menghadapi dan melawan perompak dan bajak laut itu. Meski masyarakat Pulau Panggang tidak memiliki kemampuan bela diri dan senjata yang memadai mereka melakukan perlawanan, namun usaha itu menjadi sia-sia karena para perompak dan bajak laut berhasil menaklukan dan menguasai Pulau Panggang. Sebagian masyarakat Pulau Panggang yang kalah dan masih bertahan berupaya menghindari para perompak dan bajak laut, sampai datanglah seorang pengembara yang berasal dari Mandar yang dikenal dengan sebutan Darah Putih. Dengan keahlian ilmu bela diri dan kesaktian yang dimilikinya, Darah Putih membantu masyarakat untuk melawan para perompak dan bajak laut. Pertempuranpun terjadi antara masyarakat Pulau Panggang yang dibantu Darah Putih dengan para perompak dan bajak laut, singkat cerita pertempuran di Pulau Panggang itu berakhir dengan kekalahan para perompak dan bajak laut. Para perompak dan bajak laut yang ingin menguasai Pulau Panggang berhasil ditaklukkan masyarakat Pulau Panggang yang dibantu Darah Putih, para perompak dan bajak laut serta barang-barangnya dimusnahkan dengan cara dibakar di sebuah gugusan karang yang disebut Karang Pemanggang, kemudian dari nama Karang Pemanggang inilah lahir nama Pulau Panggang. Darah Putih menjadi tokoh yang dihormati, sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ilmu bela diri asal Mandar ia tularkan kepada masyarakat Pulau Panggang. Kisah tuturan lisan ini menjadi pemarkah awal tentang keberadaan Silat Mandar di Kepulauan Seribu, khususnya di Pulau Panggang.

Masyarakat Mandar menyebut ilmu bela diri atau pencak silatnya dengan sebutan Kottau, namun karena telah terbawa ke Kepulauan Seribu di Jakarta nama Kottau tidak lazim dikenal. Kata Silat menjadi lebih familiar karena pengaruh budaya lingkungan sekitar yang lebih umum menyeut ilmu bela diri atau pencak silat dengan sebutan Maen Pukulan atau Silat. Silat Mandar di Kepulauan Seribu khususnya di Pulau Panggang diwariskan secara turun temurun, tidak banyak praktisi dan tokoh masyarakat setempat yang mewariskannya. Salah satu tokoh masyarakat Pulau Panggang yang mewariksan Silat Mandar adalah Habib Zein, beliau merupakan keturunan salah seorang habib dari Hadramaut penyebar agama Islam di Kepulauan Seribu pada abad ke 18 bernama Habib Ali bin Ahmad bin Zein Al Aidit. Habib Ali bin Ahmad bin Zein Al Aidit dapat dikatakan sebagai orang yang mempelopori untuk menetap di Pulau Panggang yang dahulu dianggap rawan dari serangan perompak dan bajak laut.
Habib Zein yang juga sesepuh IPSPP (Ikatan Pencak Silat Pulau Panggang) mendapatkan keilmuan Silat Mandar dari seorang tokoh pendekar Pulau Panggang yang justru berasal dari Banten, seorang ulama yang bernama Kyai Muhammad Sadeli bin Kohar atau yang biasa dipanggil Nek Deli. Di kalangan pendekar persilatan Kepulauan Seribu dan pesisir utara Jawa zaman dahulu Nek Deli dijuluki Pendekar Tujuh Muara, beliau memformulasikan keilmuan silatnya setelah mengembara dan berguru dari beberapa orang di Banten, pesisir Sumatera hingga Mandar. Kottau atau Silat Mandar yang dimilikinya telah mengalami difusi baik gerak maupun langkahnya karena kemungkina sudah tercampur dengan aliran silat Cimande dan Bandrong asal Banten, namun masih dapat dilacak dari istilah penamaan jurus karena gerakan yang sifatnya kembangan, Silat Mandar masih tetap dipelihara, seperti Jurus Siliwaki yang di Jawa dikenal dengan istilah Seliwa, Burung Sekawan dan Langkah Dua Belas dan Sikat Dua Belas.
[1] Denys Lombard dalam bukunya Regard Nouveau Sur Les “Pirates Malais” (1979: h. 231-250) menyebutkan bahwa maraknya ancaman perompakan di Asia Tenggara , yang dilakukan oleh bajak laut Melayu kurun waktu antara abad 17-19.
Recent Comments