Di saat yang lain sibuk ngomongin kampanye, saya terlibat sebuah pembicaraan yang cukup menarik mengenai status guru. Dalam tradisi kita, seorang guru adalah seseorang yang wajib di hormati. Dalam tradisi juga bisa dibilang tidak ada istilah bekas guru. Tapi apakah bisa sebuah “syarat dan ketentuan” di tetapkan dalam menempatkan status tersebut ?

Jaman sekarang, dimana informasi semakin mudah di peroleh, kita juga jadi sangat mudah mempelajari berbagai aliran beladiri. Para guru silat pun sekarang cukup loyal dan mudah menerima murid. Lalu ketika seseorang sudah mempelajarinya dan berniat mengajarkannya kembali maka tak jarang dari mereka menyematkan gelar “Guru” pada dirinya.

Bagi saya, seorang guru itu tidak hanya masalah ilmu, tapi masalah mental seorang guru dalam mengajar dan membina hubungan guru dan murid. Dalam mengajarkan ilmunya pada murid, tentunya seorang guru akan menemukan banyak dilema atau masalah. Dari mulai murid yang lambat dalam menangkap pelajaran, brisik sendiri, atau karena mudahnya mencari ilmu pada guru lain, sang murid belajar juga di tempat lain.

Satu hal yang sering saya temui adalah, guru yang memaksakan penghormatan yang kadang berlebihan atau yang diam-diam tidak terima atas suatu hal pada muridnya, misalnya muridnya tersebut belajar lagi kepada guru lain.

Memang tiap budaya punya cara sendiri dalam menghormati guru atau dalam hubungan status guru dan murid. Disini tentunya perlu sebuah kesepakatan yang seharusnya sudah disepakati sejak awal agar tidak terjadi kesalah pahaman. Apa yang diinginkan seorang guru dari muridnya. Dari sana sang calon murid bisa menentukan sikapnya sendiri apakah akan terus atau mundur.

Ke jujuran dan keterus terangan sejak awal ini buat saya sangat penting. Bagaimana sikap seorang guru menghadapi berbagai masalah dengan muridnya ini tentunya akan menentukan nilainya sebagai seorang guru. Kalau hanya diam-diam saja tentunya akan sulit seorang murid menentukan mana yang boleh dan tidak boleh, mana yang menyinggung ataupun tidak.

Kalau seorang guru dengan sengaja mencederai muridnya karena kesal dengan muridnya, atau memutuskan hubungan hanya karena merasa tidak dihormati dengan cara yang diinginkannya, atau ketika seorang guru memperlakukan muridnya bagaikan budak, apakah “syarat dan ketentuan” ini dapat di terapkan ?

Tentunya hal ini kembali ke diri masing-masing kita juga sebagai murid.