Sebuah Tinjauan Sejarah dan Budaya Buku Sadjarah Kaboedajaan Pentja dan

Riwayat Penca Cikalong Sareng Sabandar

Bagian II

Dukungan anda kepada Tangtungan Indonesia akan sangat membantu kami dalam usaha pelestarian dan promosi Pencak Silat sebagai budaya warisan Indonesia. Silahkan kunjungi link berikut untuk mendukung kami : https://sociabuzz.com/tangtungan/support

Penulis : GJ Nawi

Perkenalan Muhammad Kosim dengan pengurus kebun di Desa Sabandar mengantarkannya kepada Bapak Umar yang berasal dari Jakarta sahabat Rd. Haji Enoh, seorang menak Cianjur yang dikenal juga sebagai pendekar Maenpo Cikalong sekaligus murid utama Rd. Haji Ibrahim sang pengkreasi Maenpo Cikalong. Faktor bahasa Sunda yang menjadi kendala selama di Cianjur berangsur-angsur hilang melalui bantuan Bapak Umar yang menguasai bahasa Melayu dan bahasa Sunda. Melalui jasa Bapak Umar pula, Muhammad Kosim dapat bekerja untuk mengurus kebun kelapa dan kolam milik Rd. Haji Enoh.

Muhammad Kosim Menjadi Guru Maenpo Rd. Haji Enoh dan dipanggil Mamak/Ama Kosim

Sudah menjadi kebiasaan keluarga menak Cianjur pada hari Minggu atau libur, seperti Rd. Haji Enoh, Rd. Haji Musa dan saudara-saudaranya berkunjung ke rumahnya di Desa Sabandar untuk berlibur dan berlatih maenpo. Dalam setiap latihan maenpo, sebagai murid utama Rd. Haji Ibrahim, Rd. Haji Enoh tidak tertandingi oleh saudara-saudaranya. Hal terakhir ini menarik perhatian Muhammad Kosim dan selalu menyaksikan ketika para menak Cianjur itu berlatih. Pada akhirnya Rd. Haji Enoh mengajak Muhammad Kosim untuk ikut berlatih maenpo, namun selama mengikuti latihan, Rd. Haji Enoh menganggap Muhammad Kosim yang berpura-pura lugu tidak mampu menyerap ilmu maenpo yang diberikan. Hingga Rd. Haji Enoh secara khusus mengajari Muhammad Kosim maenpo, namun yang mengejutkan ketika kesempatan berlatih tarung antara muhammad Kosim dengan Rd. Haji Enoh, beberapa kali Rd. Haji Enoh terjatuh oleh Muhammad Kosim. Satu hal yang membuat takjub Rd. Haji Enoh, raden Haji Musa dan saudara-saudara menak Cianjur lainnya. Dari peristiwa itu Rd. Haji Enoh, Rd. Haji Musa dan saudara-saudaranya sepakat untuk menimba ilmu pencak dan menganggap guru kepada Muhammad Kosim, dengan panggilan Mamak atau Ama Kosim[1].

Selama dua tahun tinggal di Desa Sabandar Mamak Kosim mendapat jodoh dan berniaga kue Cara. Salah seorang tetangga Mamak Kosim yang bernama Raden Ateng Kadri berasal dari Jatinegara yang juga seorang pendekar pencak silat kerap mengunjungi Mamak Kosim untuk mengajaknya sparing. Awalnya tidak digubris oleh Mamak Kosim, namun akhirnya ajakan Raden Ateng Kadri dipenuhi Mamak Kosim dan berhasil menjatuhkan Raden Ateng. Mulai saat itu Raden Ateng Kadri mengangkat mamak Kosim menjadi guru pencaknya[2].

Ilustrasi maenpo di Cianjur tahun 1920an. Sumber KITLV.

Mamak Kosim Mempelajari Tarekat

Pada saat itu di Cianjur terdapat seorang ulama, guru tarekat yang sangat termahsyur dan dikenal dengan sebutan Ajengan Cirata. Mamak Kosim yang secara batiniah mencapai puncak perjalanan spiritualnya berguru tarekat kepada Ajengan Cirata, begitu pula sebaliknya Ajengan Cirata, santri dan kyai lainnya berguru maenpo kepada Mamak Kosim. Hingga banyak pada saat itu kyai-kyai dan para ulama di Cianjur yang menguasai Maenpo Sabandar. Dari momen ini menimbulkan asumsi bahwa kemungkinan ketika Mamak Kosim mempelajari tarekat dari Ajengan Cirata menstimulir gaya maenpo Mamak Kosim yang awalnya telenges menjadi berorientasi pada permainan pernafasan yang lembut semata-mata dipengaruhi oleh ajaran tarekat yang dipelajarinya dari Ajengan Cirata.

Ketika Ajengan Cirata hijrah dari Cianjur ke Purwakarta, Mamak Kosim sebagai murid tarekat yang setia mengikuti mursyid[3]nya yang ditemani oleh salah seorang muridnya yaitu Bapak Musa. Di Purwakarta Mamak Kosim mendapat jodoh seorang wanita asal Sindang Kasih yang kemudian dipanggil Eyang Bubu, lalu Mamak Kosim tinggal di Desa Wanayasa hingga wafat di tahun 1880.

Selama di Purwakarta Mamak Kosim tetap mengajar maenpo Sabandar, namun beliau tidak mudah untuk mengangkat seseorang menjadi muridnya. Beberapa muridnya yang terkenal adalah; Rd. Abdurahman atau yang biasa dikenal dengan sebutan Raden Abu, Rd. Natadipura atau dikenal Mamak/Ama Wekling[4] dan Rd. Jenal yang waktu itu berprofesi sebagai Naib di Sindang Kasih[5].

Meski maenpo yang dikembangkan Mamak Kosim berkembang dan berujung di Wanayasa, Purwakarta, namun nama maenpo ini tetap disebut sebagai Maenpo Sabandar, sebagaimana nama desa di Cianjur tempat awal berkembangnya maenpo yang dikembangkan oleh Mamak Kosim. Karenanya ada ungkapan khas di kalangan praktisi Maenpo Sabandar, “Cai kopi sagelas diinum ku Urang Cianjur, sesana diinum ku Urang Purwakarta jeung Wanayasa.” (Air kopi segelas diminum oleh orang Cianjur, sisanya diminum oleh orang Purwakarta dan Wanayasa)[6].


[1] Mamak atau Ama (bhs. Sunda) adalah panggilan kepada orang tua atau yang dituakan dan dihormati karena keilmuannya. Etmologi Mamak atau Ama berasal dari kata Rama yang artinya bapak.

[2] R.H. Obing Ibrahim, Sadjarah Kaboedajaan Pentja, Pengahrepan, 1938. Hlm. 30.

[3] Guru Tarekat.

[4] Dari bhs. Belanda, Kweekling atau sekolah calon guru.

[5] R.H. Obing Ibrahim, Ibid.Hlm. 31.

[6] Ungkapan yang diutarakan oleh Pak Ujum, kuncen makam Mamak Kosim Sabandar di wanayasa yang juga murid dari Mamak/Ama Wekling. Sumber Rd. Nunung Ahmad Dasuki, Riwayat Penca Cikalong Sareng Sabandar. Hlm. 9-10.

foto ilustrasi hasil imajinasi penulis tentang sosok Mamak Kosim Sabandar