Elmu Penca Cimande merupakan salah satu produk budaya warisan leluhur bangsa Indonesia dan telah menjadi suatu disiplin ilmu dalam bidang Olah Kanuragan[1]. Sebagaimana layaknya ilmu seni beladiri lain, Elmu Penca Cimande juga memliki teknik, taktik, strategi dan filosofi beladiri yang mandiri serta budaya komunal yang telah ada sejak pertengahan abad ke 16Masehi.
Istilah Cimande berasal dari nama sebuah desa tempat lahir, tumbuh dan berkembangnya ilmu seni beladiri ini, yaitu Kp. Babakan Tarikolot Cimande yang terletak di sisi barat kawasan kaki Gunung Gede Pangrango–Kabupaten Bogor. Wilayah berbukit itu dilintasi oleh sebuah sungai yang mengalir menyusuri lembah seakan menjadi batasalam bagi desa tersebut,sungai inipun kemudian dikenal dengan nama Sungai Cimande yang bermuara pada Sungai Cisadane tepat di bawah tapal batas Desa Cimande Hilir – Bogor.
Para pendiri seni beladiri Elmu Penca Cimande telah meletakkan filosofi dasar,rangkaian materi pelajaran dan metoda latihan yang tertata apik ( puguh larapna tur puguh entep seureuhna ) disertai nilai tambah yang patut kita banggakan ,yaitu teknik penguatan otot dan tulang sehingga mereka yang mempelajarinya dapat memiliki kekebalan terhadap benturan benda keras. Hal ini menunjukkan betapa luas dan dalamnya pengetahuan ilmiah yang telah dicapai oleh para leluhur kita, diantaranya tercermin pada padika[2] berikut ini; “syarat diajar Elmu Penca Cimande diantarana kudu geus cukup umur, ulah kurang ti 17 taun sabab bisi meureut tulangna”. ( salah satu syarat untuk mempelajari Elmu Penca Cimande yakni harus berumur tidak kurang dari 17 tahun karena bisi meureut tulangna ).
Ketika hal tersebut dikemukakan dalam sebuah diskusi di Bandung bersama Prof. Roekanta ( seorang Dokter spesialis bedah orthopedi bersertifikat internasional ), beliau berpendapat; “melihat dari tata cara berlatihnya, metoda penguatan tulang ala Cimande ini tidak diperuntukkan bagi anak-anak di usia pertumbuhan (0-17 tahun), hal ini untuk menghindari cedera pada persendian di usia dini karena akan beresiko terhadap pertumbuhan tulang ( inilah yang dimaksud dengan; bisi meuret tulangna ), namun bila dipelajari oleh orang yang sudah cukup umur niscaya akan membuat tulang mereka menjadi sangat kuat. Kemudian beliau mengungkapkan kekagumannya melalui sebuah kalimat, “teu sangka ! Geuning elmu teh tos nyampak di karuhun urang” (sungguh di luar dugaan, bahwa ilmu pengetahuan seperti ini sudah dimiliki oleh leluhur kita).
Selain hal tersebut di atas ada satu resep rahasia berupa ramuan tradisional yang dipercaya dapat memperkuat daya tahan tulang terhadap benturan benda keras, yaitu Balur Cimande, dengan cara tertentu Balur ini digunakan untuk merawat tubuh anak murid Cimande setiap selesai berlatih. Hal inilah yang membuat para praktisi Cimande mempunyai kekuatan tulang diatas kemampuan rata-rata manusia pada umumnya, bahkan tulang kering pada kaki yang biasanya rentan terhadap benturan, tidak berlaku bagi para praktisi ilmu seni beladiri ini.
Berkat metoda yang dimilikinya para praktisi cimande mempunyai kekuatan tulang diatas kemampuan rata rata manusia pada umumnya, bahkan kondisi tulang kering pada kaki yang biasanya rentan terhadap benturan tidak berlaku bagi para praktisi ilmu seni beladiri ini.
Ada satu fenomena menarik yang selama ini mungkin luput dari perhatian kita, yaitu tentang sebuah realita bahwa hingga saat ini Elmu Penca Cimande tidak pernah dipertandingkan karena secara tradisi para praktisinya “terlarang” untuk mengikuti segala macam bentuk kompetisi. Motivasi dari semua ini tidak lain hanyalah kesederhanaan sebuah nilai yang mereka anut,yaitu tara hayang meunang ku jalan ngelehkeun batur (tidak memiliki keinginan untuk meraih kemenangan dengan cara mengalahkan orang lain).
Adat Istiadat dan Agenda Budaya Masyarakat Cimande
Masyarakat Cimande hingga saat ini masih memiliki adat-istiadat yang terpelihara antara lain:
– Membiasakan diri berinisiatif mengulurkan tangan terlebih dahulu untuk berjabat tangan ketika bertemu dengan orang lain.
– Tidak menggunakan kursi baik di teras rumah maupun di ruang tamu agar siapapun dapat duduk sama rendah baik tamu maupun si empunya rumah
– Mengadakan pagelaran seni Tepak Salancar dan ngadu Bincurang pada saat mengadakan acara hajatan, seperti pada syukuran khitanan atau pernikahan.
– Membuat balur pada bulan Mulud di Tarikolot
– Merawat benda-benda pusaka pada setiap tanggal 12 Maulud
– Muludan pada setiap tanggal 12 Maulid[11] pagi di Masjid Tarikolot
– Berziarah ke 3 situs Makam para pendiri dan pendahulu aliran Cimande
– Melakukan ritual ngabungbang pada malam tanggal 14 Maulud di Cimande.
Yes!!!
Mantabbs!!
Full Motivation.