Dalam perjalanan kembali ke kota kelahiran. Ara banyak memikirkan berbagai pertemuannya dengan para ahli silat di berbagai kota. Banyak hal yang tidak di mengertinya. Dan sebuah hal lagi yang dipikirkannya yaitu ketika di pulau Bali, bagaimana sebuah teriakan dari seseorang membuatnya “merasakan” sesuatu. Seakan hati ini bergetar oleh rasa yang entah bagaimana seperti menyedot perhatiannya.
Untuk itu Ara tidak bisa banyak berbuat karena tidak ada tempat untuk berbagi. Hanya mampu merenungi bagaimana hal itu bisa terjadi, bagaimana dan apa sebabnya.
Suatu hari, masih dengan segala pikirannya tentang teriakan waktu itu, Ara pergi ke sebuah tempat dan disana terdapat sebuah pertunjukan jaipongan dan juga ada pertunjukan ibingan silat yang dibawakan oleh sekelompok orang dengan berbagai rentang usia.
Waktu itu terlihatlah sekelompok orang sedang memainkan permainan ibingan yang indah sekali. Semua penonton senyap menyaksikan pertujukan tersebut dan di akhir pertujukan terdengarlah tepuk tangan yang meriah. Lalu di saat lain tampilah pesilat lain yang memainkan ibingan dengan indah pula, dan disekeliling terdengar decak kagum mengagumi permainannya yang memang dimainkan dengan indah dan gagah.
Lalu seorang tua yang terlihat sangat santai naik ke atas panggung memainkan ibingan. Ara terpaku melihat permain yang sederhana tapi indah tersebut, memperhatikan segala gerak gerik permainan orang tersebut. Sampai suatu saat mendadak terdengar dentingan nada sumbang yang mendadak menyadarkan Ara. Mungkin karena pikirannya masih teringat pada kejadian di Bali itu, Ara tidak lagi memperhatikan permainan orang tersebut, tapi mulai memperhatikan reaksi-reaksi para penonton.
Mendadak Ara tersadar, ada penampilan yang mengundang decak kagum penonton tapi juga ada penampilan yang membuat para penonton terpana seakan mata tak mau lepas dari panggung, dan Ara pun menyadari bahwa ada saat dia seperti ditarik dari dalam hatinya untuk tidak melepaskan pandangan matanya dari panggung.
Disinilah, kemudian Ara memilih posisi menonton dimana dia bisa menonton berbagai reaksi para penontonnya.
Pikiran dan hati Ara pun serasa teraduk-aduk. Keindahan gerakkah ? Kemantapan gerakkah ? Atau hatikah yang membuat para penonton terpana ? Bagaimana sebuah pertunjukan bisa terasa berbeda dan memberikan sebuah pengaruh yang berbeda hanya karena pembawa gerakannya berbeda ?
Apakah ………… hati ?
—
Ketika Hati Ikut Bersilat……………
Recent Comments