Hari itu Ara sedang berada diatas sebuah kapal yang mengantarkannya dalam perjalanan menuju pulau Bali dari pulau Lombok.

Perjalanan yang cukup panjang karena membutuhkan waktu beberapa jam untuk bisa tiba di pulau Bali untuk pulang. Kapal yang di gunakannya bergoyang-goyang di terpa ombak. Ara yang tengah berdiri di pinggir kapal melihat sejumlah sirip ikan mengikuti kapal tersebut. Teringat dia kalau dulu pernah ada beberapa anggota angkatan laut berenang menyeberangi selat diantara pulau Bali dan Lombok yang konon juga berkeliaran ikan hiu disana. Ara masih ingat karena dia melihat sendiri ketika para perenang tersebut mendarat di pantai setelah berenang dengan tubuh berlumuran gel berwarna biru yang katanya digunakan untuk mengusir ikan hiu agar tidak mendekat.

Geladak saat itu sepi, Ara mencoba melakukan beberapa gerakan silat di antara gerakan kapal yang saat itu lumayan bergoyang dengan kencang. Ternyata mengikuti gerakan gelombang tidak semudah yang terlihat. Titik berat badan sangatlah menentukan karena kalau tidak maka badan kita akan oleng terbawa gerakan kapal.

Terbayang olehnya para pelaut di jaman dulu yang harus berperang diatas perahu dan kapal-kapal. Tentunya mereka telah terbiasa berlatih di tengah goyangan kapal seperti ini sehingga tidak terganggu atau sudah mampu menyesuaikan diri dengan gerak gelombang secara natural. Ataukah menggunakan silat khusus ?

3 jurus Sika bila dimainkan di timing yang tidak tepat membuat Ara bergoyang posisinya, bahkan terjatuh. Beberapa gaya aliran silat di cobanya di situ dan memang cukup sulit. Tanpa stabilitas pijakan yang baik tentu saja bersilat menjadi sia-sia. Yang ada akan mudah terjerembab sendiri dan terjatuh dan dengan mudah di mangsa lawan yang bisa berdiri lebih stabil.

Akhirnya Ara memilih menggunakan jurus-jurus yang diajarkan eyangnya diakhir pelajarannya dulu. Silat yang dimainkan dengan gaya bermain sangat rendah dan gangguan gelombang bisa di minimalisasinya walaupun masih ada sedikit pengaruh goyangan. Dengan gerakan yang diminimalisir jaraknya sehingga gaya serangnya agak sedikit lebih pendek, kuda-kuda yang rendah dan cenderung mendekati keduduk stabilitas bisa lebih dijaga.

“Kuda-kuda ….”, sebuah ingatan terbesit.

“Gerakan yang mengikuti bumi”, sebuah kalimat terbayang dalam benaknya.

“Lantai kapal yang diterpa gelombang ini bisa dianggap sebagai tanah yang sedang dipijak”, pikir Ara.

Sebuah pemahaman barupun datang merasukinya, dengan “mengikuti bumi” akankah gerakan akan menjadi mudah ?

“Bumi adalah lawanmu, tapi bumi juga temanmu. Mengikuti bumi bisa berarti mengikuti gerak lawan. Tapi bisa berarti pula kamu yang menjadi bumi.”

Jadi inilah mengapa langkah begitu penting dalam sebagian silat.

gerak menjadi bumi dan bumi menjadi gerak” – sebuah filosofi dari Sika