Hari itu masih sangat pagi. Pandangan masih remang-remang ketika Ara meneruskan perjalanannya menyusuri pinggiran pantai tersebut. Pantai yang masih jarang di kunjungi orang yang mungkin tidak ada nama yang dilekatkan pada pantai tersebut. Semak-semak khas di pesisir pantai yang tinggi membatasi pemandangan tapi tak mengurangi keindahan untuk dilihat.

Kata orang-orang tua, bahkan sebatang rumput pun mampu bercerita tentang silat, kenang Ara.

Pantai di pulau Lombok ini masih banyak yang belum di bantai habis-habisan oleh para wisatawan sehingga pemandangannya masih sangatlah indah dan alami.

Sesekali Ara berhenti untuk bertanya arah. Agak sulit karena di wilayah tempatnya saat itu berada seringkali orang tidak bisa berinteraksi dengan baik bila berbicara dengan bahasa Indonesia. Untungnya sedikit banyak Ara punya bekal dengan bahasa daerah yang disebut dengan bahasa Sasak sehingga walau dengan susah payah karena bahasa tersebut memiliki perbedaan dialek bila berada di daerah yang berbeda dan juga terbatasnya kosakata yang di miliki Ara, Ara bisa meneruskan perjalanannya.

Akhirnya malampun tiba, Ara tak tahu lagi harus kemana. Di perjalanannya kali ini, sering kali Ara harus tidur di emperan, pos hansip karena tidak selalu bisa mendapatkan tempat menginap. Tapi ternyata berkat ketidak sengajaannya dalam kondisi harus mau tidur dimana saja inilah Ara bertemu dengan seseorang yang menguasai sebuah silat dari daerah tersebut.

Sebuah silat yang sudah cukup familiar dimatanya karena ternyata gerakannya begitu mirip dengan silat Cimande, berada jauh dari tempat asalnya. Silat cimande ini sudah mengalami transformasi disana sini sehingga gerakannya  menjadi lebih ringan dan lincah langkahnya dibandingkan bila melihat orang yang memainkan silat Cimande.

Lalu dari mana silat ini bisa ada disini ?

Menurut katanya, silat ini memang berasal dari tanah sunda yang kemudian dibawa seorang pengembara ke pulau lombok ini. Dalam perjalanan, silat ini telah mengalami tranformasi dan memiliki beberapa tambahan lain dan sesampainya di pulau ini pun masih mendapatkan pengaruh-pengaruh lain sehingga menjadi bentuknya yang sekarang. Beliau menyebutnya sebagai “Silatnya Bang Ujang”.

Menarik. Sayang waktu perjumpaan tak lama karena hari sudah sangat larut. Ara harus berpisah.

Tapi perjalanan selanjutnya menyusuri desa-desa di dari Lombok timur menuju ke tengah ini sangat banyak memberikan kesan. Diantaranya karena pertemuannya dengan seorang yang menguasai Tarung Presean. Sebuah beladiri tradisional yang akhirnya Ara sadari banyak di temukan di wilayah Indonesia. Permainan beladiri tameng atau perisai kulit kerbau (ende) dan tongkat rotan (penjalin).

Satu hal yang unik adalah, waktu musik dimainkan, para pepadu (para petarung) dan juga wasit akan menari-nari, sambil mencari kesempatan menyerang.

Tarian, sebuah ingatan terbang ke masa lalu Ara dimana ketika ingin belajar silat dia malah disuruh belajar menari.

Ada apa dengan tarian ?

Pletak …… sebuah sambaran mengenai kepala, darah segar mengucur dari kepala. Tapi yang terdengar adalah tawa riuh. Bahkan yang berdarah-darahpun seperti tak merasakan sakit.

“Tarian itu wajib dikuasai, agar badan kita lentur untuk bisa mengejar celah kelemahan lawan”, kata seorang guru yang mengajarkan permainan ini.

“Dengan menari kita juga jadi ngak tegang dan bisa bersenang-senang. Dan juga tarian itu sebetulnya merupakan kunci untuk membantu kita memasukan serangan kita ke lawan kita. Kalau tidak bisa menari kita bisa kalah.”, lanjutnya.

“Walah, senang-senangnya pakai bocor kepala pak. Tapi kenapa harus sebuah tarian ?”, kata Ara.

“Kamu pikir mudahkah untuk bisa memukul kepala ? Mumpung belum bubaran coba saja main-main sama anak-anak disana”.

Akhirnya Ara merasakan, betapa sulitnya menembus pertahanan tameng kulit kerbau itu. Serangan bebas dengan aturan yang sederhana saja, asal tidak menyerang bagian bawah pinggang di perbolehkan. Dan lagi rasa takut kena hantam rotan yang sabetannya ternyata sangat keras itu juga tidak main-main. Getaran yang terasa di tangan ketika menangkis dengan tamengpun masih cukup terasa.

Senang sekali bisa merasakan sendiri pertarungan adu kejantanan kaum pria dari Sasak ini.

Ternyata tarian yang begitu sederhana yang harus dikuasai mengatarkan mereka memiliki koordinasi kaki yang sangat baik juga memiliki liukan badan yang cepat untuk menyelipkan sebuah serangan kepada lawannya. Menyerang dengan tarian adalah sebuah kalimat yang tepat buat menggambarkannya.

Hari telah sore, waktunya untuk Ara memulai perjalanan lagi, kali ini menuju pelabuhan untuk kembali pulang.

Ara pun berpamitan dari sang bapak guru dan berjalan meninggalkan tempat itu dengan darah yang masih belum kering benar di pelipisnya serta badan penuh biru lebam.

Sebuah pikiran terbawa dalam langkahnya menuju pelabuhan “ketika sebuah tarian bisa membantumu mengalahkan lawan”.