Alone in The Night

Hari itu, Ara menginjakkan kakinya ke kota Aceh.

Disana Ara berjalan-jalan keliling keliling tanpa tujuan. Hingga akhirnya dia tiba disebuah rumah penginapan kecil.

Dari sana Ara mengontak seorang kawan kenalannya yang kabarnya tengah berada di Aceh. Kawannya ini bukanlah seorang pesilat dan bukan orang yang tertarik pada dunia persilatan. Tapi dari sana Ara di ajak berkeliling mengunjungi tempat-tempat wisata. Juga Ara beruntung dapat melihat silat Siwah dari Aceh ketika melintas di sebuah acara pernikahan.

Perjalanan masih berlanjut. Ketika sedang duduk duduk santai seorang diri, Ara berkenalan dengan seseorang yang akhirnya terjadilah perbincangan akrab. Dalam kesempatan itu Ara bercerita tentang kesukaannya pada silat dan niatnya ingin melihat seperti apakah silat dari kota ini.

Tak disangka, lawan bicaranya inipun mengerti tentang sebuah silat dari keluarganya. Akhirnya mereka pergi ke lokasi yang agak lebih tenang untuk bisa saling bertukar jurus.

Dan ketika melihatnya, Ara terperangah, walau agak sedikit berbeda terutama pada gerakan kaki ketidak adaan tata krama permainan nafas seperti yang dipelajarinya, tapi jurus yang dimainkan serupa dengan jurus Sahbandar yang dipelajarinya. Dan jurus ini menurutnya berasal dari keluarga kerajaan Aceh yang hanya diturunkan pada keluarga.

Melangkah sedemikian jauh melintah propinsi hanya untuk bertemu dengan jurus yang mirip. Setidaknya inilah ke-2 kalinya Ara bertemu sebuah aliran yang menggunakan gerakan yang mirip tapi bukan disebut sebagai aliran silat Sahbandar dan berasal dari silat keluarga. Luar biasa.

Sebenarnya dari manakah silat Sahbandar berasal ? Entahlah…. Sebuah teka teki yang bisa dipastikan sulit dibongkar.

Dari bincang-bincang yang dilakukannya ini 1 hal yang menyentil hati Ara. Teringat pada semua perjalanan yang pernah di laluinya. Kenapa semuanya selalu menuju pada “kosong” ? Kenapa harus di lemaskan ?

Sedemikian pentingnyakah “kosong” ?

Sayang waktu yang dimiliki Ara di tanah rencong ini tidaklah lama. Dia harus segera kembali lagi ke kota kembang.

Dalam perjalanan panjang Ara menuju kota kembang, sejuta pikiran memenuhi pikirannya.

Sika yang awalnya sangat mementingkan keras pun berakhir dengan jurus yang mengharuskan kekosongan. Sahbandar yang dipelajarinya pun berakhir dengan kosong. Ulin Makao yang dipelajarinyapun pada 1 titik mengajarkan yang kurang lebih sama.

Setibanya Ara di kota kembang, Ara langsung menuju padepokannya, tempatnya merenung di lereng gunung Manglayang.

Berjurus dalam perenungan, menikmati air yang dingin ditemani hangat api unggun.

Malam itu, Ara teringat kembali pada jurus akhir dari Sika yang diajarkan eyangnya. Mulailah dia menggerakan badannya.

Memasang kuda-kuda rendah dan melakukan sikap pasang jurus dan memulai dengan putaran tangan pendek.

Kenapa harus “kosong” ?, pikir Ara.

Kakinya melangkah kedepan bersilang pendek.

Kenapa harus lemas ?

Lengannya mengayun dalam jurus bentuk jurus yang sangat berbeda dengan jurus lain yang diajarkan di awal Ara mempelajari Sika.

Kenapa latihan dingin dan diangin-angin juga mengharuskan pelemasan.

Akhirnya matanya menatap sebuah aliran air, dan teringat jugalah Ara pada ilmu-ilmu bab akhir yang belum sempurna ia kuasai.

Hatinya bertekad untuk memecahkannya.

Jadi kenapa “kosong” ?

Latihan yang berasal dari Bab 7 pun dilakukan hingga kelelahan menyapa. Dalam kantuknya samar-samar, terngiang perkataan eyangnya.

Hampa…………. 
Lalu berisi
Lalu memiliki bentuk
Hingga akhirnya tak lagi berbentuk
Lalu Hampa………
 

dan Ara pun tertidur dalam pelukan dingin lereng Manglayang.