Kapas Timbang Pare Dongdang Pun

Kata-kata itu begitu lama menghantui Ara. Kalimat yang berarti, “kapas ditimbang dengan pare tetap seimbang” ini sebetulnya memiliki maksud apakah ? Bagaimana mengimplementasikannya dalam silat ?

Sebuah tas rangsel tersampir di punggungnya, sebuah penantian akhirnya berakhir, bis yang akan membawanya ke sebuah kota kecil di selatan Bandung itu mulai berjalan. Ara akan pergi kesana dengan seorang kawannya yang akan menunjukan sebuah silat tradisional. Disana rencananya Ara akan berkenalan dengan orang yang menguasai silat ini.

Akhirnya Ara tiba disebuah terminal. Perjalanan dilanjutkan dengan menaiki angkot hingga disuatu tempat dan dilanjutkan dengan berjalan kaki cukup jauh. Ternyata orang yang sudah cukup tua yang dituju tinggal disebuah bukit, sebuah desa kecil yang hanya terdiri dari sekitar 5 rumah saja yang terbuat dari bilik bambu dan memilik sumber air sendiri dari mata air yang mengalir disana.

Perkenalan yang sederhana dilakukan, sejumlah makanan kecil khas pedesaan pun di keluarkan, dalam bahasa sunda disebut dengan sampeu. Teh dan kopi pun menemani bincang-bincang mereka. Juga berjurus sebagai pembukaan perkenalanpun dilakukan. Dari sana Ara mendapatkan banyak cerita tentang para pendekar di masa lalu. Juga sedikit petunjuk tentang “kapas” dan “pare”.

Tapi rasa tidak puas masih menyelimutinya. Memang, keseimbangan adalah sebuah kunci dari sebuah gerakan, baik keseimbangan kita sendiri, maupun keseimbangan lawan kita. Lawan yang tak seimbang tidak bisa memberikan serangan yang maksimal, sedangkan kondisi kita yang seimbang dapat mengendalikan gerakan lawan yang tak lagi seimbang. Tapi mengapa kalimat itu bisa menjadi sesuatu yang penting ?

Sebuah pencerahan yang sederhana didapatkannya, pengetahuannya bertambah. Tapi mampukah Ara melaksakannya dalam gerak ? Belum tentu. Keseimbangan tidak hanya berlaku bagi gerak, tapi antara hati dengan badannya juga pikirannya.

Malam itu, diatas bukit itu, Ara di perintahkan untuk berlatih oleh sang orang tua, memainkan jurus-jurus yang dimilikinya. Kemudian Ara diperintahkan untuk berlatih jurus ke-2 dari Sahbandar dan mengulanginya terus menerus.

Jurus 2 Sahbandar. Sebuah pertanyaan yang muncul di kemudian hari. Mengapa harus jurus 2 ?

Akhirnya waktu makin mendekat ke waktu subuh, tak terasa 4 jam lebih sudah lewat sejak Ara di perintahkan berlatih jurus 2 Sahbandar terus menerus. Sang orang tua yang tidak mau menyebutkan silat apakah yang dikuasainya itu akhirnya menyuruh Ara untuk beristirahat dan duduk di depan sebuah mushola yang ada di desa kecil itu.

Dibawah remang-remang lampu itu sang orang tua yang Ara curigai memahami Sahbandar karena dapat melihat detail-detail kecil yang kadang “lupa” dilakukan oleh Ara itu memberikan sebuah kisah tentang hati,  tentang ke kosongan yang ada setelah isi dan tentang memahami apa yang dilakukan ketika berjurus.

Sebuah cerita yang menarik tentang tahapan orang mempelajari jurus. Dimulai dari menghafalkan jurus, menguasai gerakannya, memahami gerakannya dan akhirnya menguasai gerakannya dan mampu memecahkan makna dari gerakannya, dan terakhir tentu saja menggunakannya.

Satu buah pelesetan yang di sebutkannya, yang diambil dari ulin makao. Di ulin makao ada tingkatan pelajaran yang disebut dengan Kumaitu yang bermakna “Kumaha Itu” atau “Bagaimana Lawan”. Kata-kata orang tua itu adalah “Setelah bisa kumaitu ya harus bisa kumaha aing” (kalau sudah bisa bagaimana lawan harus bisa terserah saya).

Sebuah contoh di berikan olehnya dimana sebuah jurus memiliki gerakan lurus memukul lurus sambil maju menyamping dan dia mau agar jurus inilah yang dia pakai dan harus jurus ini. Kemudian dengan Ara sebagai penyerangnya, sang orang tua mempraktekan gerakannya.

Ara yang sudah tau bentuk serangan yang akan dilakukan memulai menyerang dengan tentunya memperhitungkan gerakan tersebut agar tidak bisa digunakan. Karena gerakannya menyamping ke arah kiri dari Ara, maka Ara memutuskan akan melangkah ke kanan dan melakukan tendangan samping yang tentunya akan membuat gerakan pukulannya menjadi terlalu jauh untuk bisa mengenai Ara.

Tapi yang terjadi bagaikan di sihir, setelah tendangan bergerak, sang orang tua bergerak ke kiri, Ara tersungkur ke depan mendekat ke arah sang orang tua dan sebuah pukulan bersarang dengan telak di sisi mukanya. Yang terjadi tepat menjadi, “Kumaha Aing” sang orang tua. Ara pun tak mampu menjelaskan bagaimana semuanya bisa terjadi seperti itu.

Pagi menjelang, sebelum pulang, Ara di bekali sebuah pesan, “Biarlah ilmu saya tetap ada disini”, sebuah pesan agar dia tidak diperkenalkan pada dunia. Sayang sekali.

Pagi itu, Ara pergi meninggalkan sebuah desa yang tenang di pinggiran kota itu dengan perasaan makin penuh tanda tanya.

Kosong setelah isi dan menjadi lebih berisi ketika kosong sementara “kapas timbang pare dongdang pun” masih belum bisa di pecahkannya.

Bersambung ……………

Perkenalan dengan Sika