Perguruan Silat BIMA (Budaya Indonesia Mataram), Bela Raga – Bela Negara
Tanggal 8 Februari 1953 , sebuah Perguruan Silat (PS) lahir di kampung Kumetiran Kidul Yogyakarta dengan nama BIMA yang merupakan pengejawantahan mimpi seorang pesilat pribumi bernama R Brotosutarjo. Melalui seni beladiri pencak silat Ia ingin melanjutkan proses perjuangan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mendarmabaktikan kecintaanya pada tanah air dan bangsa. BIMA (Budaya Indonesia Mataram) sebagai kelembagaan olahraga seni beladiri, merupakan salah satu usaha memupuk dan melestarikan kebudayaan bangsa serta meninggikan derajat bangsa Indonesia di tingkat Internasional
Tercatat dalam sejarah, PS BIMA memiliki prestasi yang menggembirakan sejalan dengan pembelaan terhadap nasionalisme Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan kesempatan yang diraihnya untuk mengajar di Militer Akademi Hukum di benteng Vandenburg Yogyakarta, 1950, dan di AKABRI UDARA Adisucipto dalam 2 periode tahun 1966.dan 1973. Kecuali itu, PS BIMA adalah perguruan silat pertama yang dipercaya oleh Presiden RI Pertama,i Ir Soekarno sebagai duta budaya Indonesia untuk tampil di Bratislava, 4 September 1957. Tanggal 12 dan 13 September 1957, PS BIMA kembali tampil di kota Lodz, Polandia. Sambutan meriah ditujukan kepada rombongan pencak silat sebagai pertunjukkan dengan tepuk tangan terbanyak, dalam lawatan ke Budapest Hongaria,7 Oktober 1957. Hal serupa terjadi di Kairo Mesir pada tanggal 13 Oktober 1957 pertunjukkan pencak silat diabadikan dan diberitakan disejumlah media massa seperti harian ALMASA edisi tanggal 14 Oktober 1957, serta harian ALKAWAKIB tanggal 19 November 1957 di Mesir.
Dalam pertumbuhannya PS BIMA juga menginspirasi sejumlah seniman untuk belajar dan mengekspresikan pada bidang seni masing-masing. Tercatat seniman yang tergabung dengan PS BIMA adalah Hasmi, nama asli Harya Suryaminata (komikus pencipta karakter Gundala Putera Petir), Eko Pece Supriyanto (koreografer, penari) yang pernah malang melintang di dunia international menjadi bintang penari pada konser penyayi Madonna dan koreografer pada film Generasi Biru Garin Nugroho. Juga Whanny Darmawan, penulis dan seorang aktor teater Yogyakarta.
Meskipun memiliki segudang prestasi dan berbagai peranan di dunia seni dan olah raga, perguruan ini mulai tenggelam di tanah airnya sendiri, diantara kepopuleran olah raga beladiri import seperti karate, tae kwon do, Jiu jut su, aikido. Dikatakan hilang dan tidak membuka diri sebagaimana cabang beladiri yang lain atau istilah kerennya eksklusif, mungkin sulit ditolak. Hal ini lebih dikarenakan pilihan keilmuan BIMA yang sangat menghargai otentisitas talenta pribadi. Bahkan perlakuan terhadap satu murid dengan murid yang lain tidak sama, tergantung karakter masing-masing.
Silat BIMA memiliki sebelas karakter permainan yang masing-masing mewadahi setiap karakter manusia yang tumbuh. Sebelas permainan itu antara lain Permainan Pendeta Kuda Kuningan, Permainan Setria, Permainan Garuda, Permainan Satria Hutan/Ria Hutan, Permainan Harimau, Permainan Ular, Permainan Naga, Permainan Burung Kuntul Mliwis, Permainan Putri berhias, Permainan Putri Teratai, Permainan Putri Sepasang Bunga.
Sebagai organisasi PS BIMA memiliki lambang kode etik atau lambang utama. Lambang-lambang ini ada dalam setiap nafas kehidupan BIMA dan pesilatnya sampai pada rangkaian gerak atau biasa disebut jurus permainan. Semuanya memiliki makna filosofis yang tersurat maupun yang tersirat berupa “wejangan” sebagai ajaran perilaku moralnya.
Misalnya pada lambang utama BIMA tertera gambar sebuah tangan kanan yang mengepal dan dikatupkan pada tangan kiri dengan posisi tangan terbuka merapat. Hal ini mengandung maksud serta makna filosofis sebagai berikut: tangan kanan mengepal berwarna hitam mengandung makna sebagai simbol kekuatan beraliran keras yang mampu beradu kekuatan dengan hal apapun yang sering diartikan kekuatan jahat, nafsu, dan anti kebajikan yang kemudian akan ditundukkan oleh keluhuran budi, kesucian hati, rasa kasih dan kedamaian dengan itikad suci persaudaraan sejati yang dilambangkan dengan tangan kiri terbuka berwarna putih. Lambang utama BIMA inipun memiliki sejarah sendiri dalam bagian asal-usul keilmuannya, meski secara singkat dapat dikatakan keilmuan belaraga BIMA juga dilatar belakangi oleh filosofi China yang lebih kita kenal dengan teori keseimbangan alam yaitu YIN YANG sebagai lambang keseimbangan alam Bumi dan Langit, hitam dan putih, keras dan lembut, dan lain sebagainya. Lambang ini diambil dari kode etik aliran beladiri keras Siau Liem Sie, yang merupakan salah satu aliran beladiri dari daratan Tiongkok Diperkirakan aliran beladiri Siauw Liem Sie ini merupakan aliran silat yang berazaskan agama Budha.
Sang Pendiri, R Brotosutarto
R.Brotosutarjo dilahirkan di Kampung Pajeksan Yogyakarta, 25 Oktober 1919 dari pasangan Sastrowihardjo ( putra R. Panjironodipuro II) dan Sedayu. Dari ayahnya, Raden Brotosoetarjo mewarisi garis Trah Hamengku Buwono I lewat R. Ayu Danukusumo (Trah R. Panji Ronokusumo). Diusia duabelas tahun, seusai dikhitankan, untuk pertama kalinya . R. Brotosoetarjo dibawa pamannya, Seto Glinding Pangarso, berguru kepada salah seorang ahli belaraga kanuragan bernama Kyai Marzuki di kampung Notoyudan Yogyakarta.
Di sanalah kemudian Taryo panggilan kecil R. Brotosutarjo mendapatkan pelajaran-pelajaran stille kracht stroom, atau ilmu kanuragan dalam bentuk mistik (bukan kunst belaraga pencak silat). Selama menjadi murid Kyai Marzuki, Taryo banyak bergaul dan berhubungan dengan beberapa teman–teman seperguruan yang memiliki bekal pengalaman, pengetahuan atau pelajaran-pelajaran kunst belaraga pencak silat dari bermacam–macam jenis dan aliran seperti Rm.Soebarman Sastroprajitno, Rm. Kuntjoro, Senu, dan Zudjak. Pada saat berguru still kracht, Taryo juga mempelajari berbagai ajaran kunst belaraga pencak silat dari teman-temannya. Meskipun kunst atau tehnik belaraga pencak silat ini terlihat secorak seragam dengan kebanyakan pencak silat yang didapati di wilayah Yogyakarta pada umumnya, yaitu sistem jurus, dan gaya posisi lepasan kaki/tumit, langkah zig zag, jarak tendangan secara umum, sedangkan bentuk gaya isiannya biasa disebut djlontrot, tendang samping, zij slag, T slag, tendang belakang atau achter slag, tendang circle/lingkaran atau zwaai slag dan sebagainya. Di samping berguru ilmu kanuragan stille kracht, Taryo juga mendapatkan pengalaman latihan bebas dari beberapa teman yang saat itu sudah menyandang gelar pendekar.
Setelah 3 tahun lamanya berguru dan dinyatakan lulus, atas ijin Kyai Marzuki, akhirnya Brotosutarjo dibawa oleh Seto Glinding Pangarso menemui Ki Parto Sardjono. Ia adalah sahabat akrab paman Taryo yang dikenal dengan sebutan Sardjana Pirnan atau Fernand di kampung Jogonegaran. Seorang penjual tikar Jawa “damen” yang terkenal sebagai seniman kethoprak (sandiwara tradisional) keliling. Ki Parto memang tidak membuka secara umum perguruan belaraga silat di kampungnya. Hanya karena hubungan kekeluargaan yang sudah terjalin lama dengan sang paman, Brotosutarjo dapat belajar ilmu silat bersama Ki Parto kurang lebih selama satu setengah tahun. Pada saat itu jadual latihan yang diberikan Ki Parto Sardjono secara diam–diam dilaksanakan tiap hari Rabu dan Sabtu dari jam 9 (sembilan) pagi sampai jam satu siang.
Apa yang didapat di sini berbeda dengan ajaran yang diberikan Kyai Marzuki. Ilmu yang diajarkan cenderung merupakan olah tehnik murni ragawi dengan dasar permainan silat Cina/ Kuntauw aliran Siau Liem Sie (aliran keras). Di sinilah R. Brotosutarjo mendapat tehnik belaraga dalam posisi jarak dekat dan sedang, kaki dan tangan berperan aktif berimbang menggunakan serang bela.Pengaruh aliran beladiri Cina memang cukup besar terbukti seorang pendekar seperti Ki Parto Sarjono menguasai ilmu beladiri Cina aliran Siau Liem Sie ternyata juga belajar dari seorang Tionghoa bernama Ta Kie Hok.
Proses berjalannya waktu menumbuhkan rasa kasih sayang Ki Parto Sardjono pada Brotosutarjo yang memiliki hasrat belajar ilmu beladiri. Ia bersama Seto Glinding Pangarso membawa sang murid menjumpai Jasakarsa (baca: Yosokarso). Seorang ahli Kunthau ternama di Yogyakarta yang membuka warung kelontong dan menjual tembakau di Notoyudan. Jasakarsa memiliki nama asli bernama Yap Kie San (1936). Kehendak Jasakarsa untuk tidak menerima murid akhirnya luluh dan menerima Brotosutarjo belajar ilmu beladiri yang dimiliki olehnya selama kurang lebih 2 tahun. Tempat latihan sering dilaksanakan di kediaman Brotosutarjo kampung Kumetiran kidul. Yap Kie San sangat mengasihi anak didiknya. Hal ini terlihat dari kedatangannya ke kediaman Brotosutarjo yang dapat dipastikan tiap hari. Entah latihan ataupun hanya sekadar memberi teori ataupun bermacam hal yang ada kaitannya dengan keilmuan beladirinya. Di sinilah Brotosutarjo mendapatkan sistem pengolahan dari beragam ilmu Kunthau, silat dan pencak dan akhirnya mencoba mengolah sendiri dengan ijin para gurunya, termasuk menggunakan lambang kode etik/salam hormat dari aliran Siau Liem Sie. Formula keilmuan itu tidak terlepas dari peran kedua sahabat Brotosutarjo yaitu Wirosoeharto (Wirosembogo) siswa angkatan pertama Tedjokusuman Hari Murti, dan Soebekti putra pendekar Soekirman RKB (Rukun Kasarasaning Badan) yang dalam keseharian Brotosutarjo turut membekali dan menyumbang saran akan perpaduan ciptaan Brotosutarjo yang sekarang dikenal ajaran silat BIMA (Budaya Indonesia Mataram) beserta adik kandung Brotosutarjo bernama Soetardjiman sebagai partner uji coba tehnik BIMA untuk pertamakalinya. Dan dari sinilah PS BIMA berdiri dan terus berkembang. Sayang, pada tahun 1973 R. Brotosoetarjo meninggal. Tongkat estafeta jatuh ke tangan puteranya, Bp Hary Bima yang secara organisatoris juga merangkap sebagai ketua umum PS BIMA. Tercatat sekarang ini BIMA memiliki cabang aktif di beberapa daerah. Antara lain cabang kota (Yogyakarta), Magelang, Sleman, Klaten, Tuban, Cirebon, Tangerang, Bali, Kalimantan Timur.
Minggu, 27 February 2011 yang lalu, PS BIMA merayakan ulang tahunnya yang ke 58. Dirayakan di GOR Jogotiro, Kalasan, Sleman dari jam 08.00-15.00 wib. Menu acaranya terdiri dari dua besar; demo gerak dan sarasehan. Demo gerak menampilkan koreografi Eko Supriyanto dengan basis permainan ular, serta beberapa pertarungan tangan kosong dan bersenjata, sementara sarasehan bertemakan ‘konsolidasi organisasi dan keilmuan PS BIMA.’ Pembicaranya adalah Master Kardi (redbelt, pelatihan harian kota yogya) dan Master Aji Indrajaya Ssos (redbelt, ketua Harian PS BIMA).
Sumber artikel, dari berbagai sumberDiedit oleh Shinta KertasariFoto oleh Ludyarto
Recent Comments