Belum lama berselang sejak kita memperingati hari guru nasional.

Guru bagi sebagian kita adalah seseorang yang mengajarkan ilmunya pada kita. Kadang seorang guru dianggap sebagai orang tua ke dua bagi kita.

Secara umum status guru dan murid terjadi melalui sebuah proses pengakuan. Tapi pada kenyataannya seorang guru tidak selalu harus dalam bentuk yang formal. Sebuah petuah atau petunjuk yang bermanfaat bisa menjadikan seseorang sebagai guru dan murid dalam pengakuan. Artinya tidak terjadi pengangkatan secara resmi menjadi guru murid. Hanya pengakuan dari diri sendiri bahwa “orang ini telah memberikan ilmu yang berguna untuk saya dan dia adalah guru saya” ataupun mungkin kebalikannya dimana yang memberikan ilmunya merasa bahwa orang yang diberikan ilmunya tersebut telah menjadi muridnya. Bahkan dalam sebuah seminar atau workshop beladiri pun bisa kita anggap orang yang mengajarkan ilmunya pada kita sebagai seorang guru bagi kita.

Dalam hal pengangkatan murid secara resemi, dalam beberapa aliran silat, ada juga yang menggunakan sebuah upacara khusus untuk pengangkatan guru dan murid secara resmi, sehingga sebelum sang murid menjalani upacara tersebut, bisa dikatakan sang murid masih sebagai “orang luar” yang belajar.

Kalau sedikit kita merenungkan, guru dalam pengakuan bisa sangat banyak sekali dan terkadang jumlahnya tidaklah kita sadari. Mereka yang memberikan petuah dan petunjuk untuk kita sehingga bisa membentuk keilmuan yang kita ketahui saat ini. Memperbaiki kualitas keilmuan kita. Semuanya bisa menjadi seorang guru dan murid dalam pengakuan.

Dalam budaya kita, status seorang guru dan murid biasanya lekang. Sampai kapanpun guru adalah guru dan murid adalah murid. Walaupun suatu hari kemampuan sang murid telah melejit sampai melebihi gurunya, bahkan sampai jauh diatas gurunya, tetap saja sebutannya adalah guru dan murid. Dalam silat biasanya tidak ada kata lulus yang menyebabkan hilangnya status seorang guru.

Tidak seperti jaman dulu, di era internet ini, klaim sebuah aliran cukup mudah untuk di bandingkan dan digali lewat berbagai diskusi dan sumber. Kadang sumber-sumber keilmuan pun walau sudah disembunyikan, tapi masih sering bisa terlihat benang merah asalnya atau kemiripannya dengan aliran lain. Informasi juga lebih mudah tersebar, sehingga cukup sulit untuk menyembunyikan sesuatu bila sudah menjadi santapan publik. Tentu saja semua jadi cukup mudah buat di tiru dan atau di pelajari. Barang kali sebagian orang malah mengadopsi, mengubah dan menjadikannya permainan miliknya sendiri.

Di jaman modern seperti sekarang ini, dimana guru besar youtube tersedia dan sangat mudah diakses, semakin banyak juga aliran yang berbagi teknik bahkan jurusnya pada dunia, juga keterbukaan informasi yang memudahkan kita untuk saling share teknik kita pada orang lain melalui berbagai media sosial, juga mudahnya kita bergaul dengan antar pecinta beladiri sehingga semakin mudah kita mengakses cerita bahkan teknik-teknik milik sebuah aliran, berapa banyak dari kita berani mengakui sumber keilmuan kita ? Sebuah hal yang sulit dikatakan karena semua itu kembali ke diri kita sendiri.
Karena ketika kita berguru pada guru besar perguruan youtube, siapa sebetulnya guru kita ?

Pengakuan pada guru ini mengingatkan saya pada tulisan lama di tangtungan.com (https://tangtungan.com/pengakuan-terhadap-sumber-keilmuan/), tentang Ekalaya yang belajar memanah seorang diri dengan berguru pada patung Dorna dan tetap mengakui Dorna sebagai gurunya.

Beranikah kita menjadi seperti Ekalaya ? Mengakui seorang guru yang mengajarinya walau lewat youtube ? Mengakui guru kita sendiri, apalagi kalau kita belajar secara resmi dan langsung pada orangnya ?
Atau menjadi pengecut yang berani menepuk dada untuk pengakuan pribadi tanpa punya berani menyebutkan dari mana sumber ilmu kita ?