Ara terduduk termenung di tempatnya menyepi lereng gunung Manglayang.
Telah sekian lama dia mempelajari silat. Tapi apa sebetulnya esensi dari silat itu sendiri ? Apa sebetulnya yang harus di temukan dalam silat ? Kenapa begitu banyak aliran tapi begitu banyak rahasia ? Kenapa semua rahasia itu tidak dibuka saja sehingga orang mudah untuk belajar ?
“Setiap niat dilalui dengan satu langkah yang pertama”, sebuah kalimat melayang dalam benaknya. Kalimat yang dulu di ucapkan oleh eyangnya.
“Untuk mencapai sebuah rahasia harus melalui banyak langkah hingga ada kepercayaan diantara kita untuk mengetahui rahasia tersebut. Kita disini bukan hanya saya dan kamu. Tapi juga dirimu dan silatmu. Hatimu dan pikiranmu. Tubuhmu dan jiwamu. Apa kamu sudah mempunyai kepercayaan pada silatmu ?”, Wejangan dari eyangnya kembali terngiang dalam benaknya.
Ara memandang kembali ke api unggun yang menyala indah di depannya. Sebuah wajan berisi air gunung sedang dipanaskan disana. Tak lama panasnya api mulai mendidihkan airnya dan tak lama air itu menjelma menjadi segelas kopi.
Nikmat terasa ketika Ara menyeruput ringan kopi yang masih panas tersebut.
“Bahkan dalam segelas kopi terdapat rahasia dari berbagai teknik silat. Menceritakan isi dari gerakan. Karena segalanya bisa menjadi silat”, terbayang kembali kata-kata tersebut sambil merasakan panas dari gelas yang di genggamnya dengan kedua tangannya.
“Dua cara untuk mengeluarkan kekuatan, kekerasan atau kehalusan. Kamu sudah banyak belajar cara-cara keras. Tapi cara keras tersebut masih membutuhkan cara halus untuk menyempurnakannya. Waktu keras semakin keras, suatu saat batu cadas yang keras juga akan hancur. Gunung yang megah akan meletus. Tapi setelah ledakannya, gunung itu bisa menghancurkan diri sendiri. Karena itu diciptakanlah cara yang halus untuk menghantarkan kekerasan didalam kehalusan. Segelas kopi panas akan bisa menceritakan padamu arti kekerasan berbalur kehalusan”.
“Apa yang mau diceritakan ? Yang ada juga ku minum nih kopi. Enak… Dingin dingin minum kopi”, pikir Ara.
“Untuk apa saya belajar silat”. Kalimat itu berulang-ulang timbul tenggelam di benak Ara.
Rupanya saat itu tibalah Ara pada sebuah titik jenuh karena tak tahu lagi apa yang harus di carinya.
Malam itu, Ara melalui malam di lereng gunung Manglayang tanpa melakukan latihan sama sekali. Hanya duduk merenung menikmati kopi.
Ketika pagi hari tiba, Ara mulai melangkah turun gunung. Melintasi lautan kabut yang menggantung dibawahnya yang membuat pandangan terhalang selama beberapa saat. Sesaat sebelum mulai menembus kabut Ara bagaikan berdiri diatas awan yang datar. Pemandangannya begitu indah sekali, memberikan sedikit hiburan pada kegalauan hati Ara.
Perjalanan Ara akhirnya berlanjut ke terminal dan memulai perjalannya ke kota Bali. Ara pernah tinggal disana. Jadi tidak terlalu asing baginya disana.
Tiba disana, Ara langsung pergi ke arah Gunung Agung dan memulai perjalanannya dari sana. Hingga akhirnya tiba disebuah desa bernama Tenganan. Disana sedang berlangsung sebuah upacara, Perang Pandan, sebuah ritual pemujaan terhadap Dewa Indra, dewa perang.
Serem juga melihat perang menggunakan daun pandan yang berduri. Sudah bisa dipastikan baret-baret. Tapi mendadak ada sesuatu yang menarik perhatian Ara. Sebuah senyuman yang menghiasi wajah-wajah mereka semua. Bukan seringai kesakitan, bukan kemarahan karena terluka. Tapi tawa dan senyuman.
Emangnya gak ada yang sakit kena tuh duri ? Tidak ada yang merasa sakit hati ?
Mendadak Ara teringat pada sebuah kata-kata eyangnya dulu, “Sebuah jurus ditemani oleh kisah dibaliknya, petuah, pepatah atau kidung. Sebuah jurus bisa bermakna banyak dari pemahaman atas petuah yang diberikan. Tapi sebuah petuah juga bisa memiliki banyak makna.”.
“Rasa sakit bisa terasa nikmat ketika hati menerimanya”, sebuah kalimat lain melayang dalam benaknya.
Ara kembali menatap kepada mereka yang tengah tertawa-tawa riang menikmati pertarungan saling hantam pandan tersebut. Menatap seraut wajah yang tertawa terbahak-bahak karena kebobolan pertahannya dan darah mengucur akibat pukulan tersebut.
Ketika hati tidak ikut bersilat, maka suatu hari batu cadaspun akan hancur.
Mendadak seluruh tubuh Ara serasa bergetar.
Perjalanan masih berlanjut. Di sebuah desa yang cukup jauh dari sana, Ara menemukan 2 anak tengah bermain tongkat dan tameng. Gebug Ende.
Gebug Ende ini sebetulnya adalah sebuah ritual pemanggilan hujan. Tapi anak-anak ini tengah bermain-main saja. Menarik. Akhirnya Ara menyempatkan diri untuk ikut duduk disana dan menyaksikan permainan mereka. Gerakannya sederhana tapi efektif. Latihan yang sederhana seperti membuka bloking agar pukulan bisa menembus melewati tameng, melakukan tangkisan dan sejenisnya.
Semuanya dilatihkan bersama dengan pertarungan. Mungkin di jaman dulu kala perang antar kerajaan masih terjadi seperti inilah latihan dilakukan. Menggantikan pedang atau keris dengan tongkat rotan dan berlatih dengan kondisi riil.
Satu hal yang sangat menarik disini adalah mereka melakukan pertarungan yang sebenarnya. Pukulan yang masuk tentunya akan cukup terasa sakit. Apakah teman-teman di kota sana, yang berlatih di perguruan-perguruan atau aliran yang tersebar dimana-mana mau terkena pukulan sekeras itu dalam latihan ? Hingga dipastikan akan ada darah mengucur karenanya ?
Satu hal yang juga diperhatikan oleh Ara adalah sebuah senyum dan tawa gembira diantara mereka diantara percik darah yang tercipta akibat pukulan yang masuk.
Memang ketika hati menerimanya, rasa sakit yang mereka terima berubah menjadi sebuah bagian dari kesenangan dalam sebuah permainan.
Permainan atau ulin dalam bahasa sunda. Mungkinkah karenanya ilmu silat sering disebut Ulin ? Permainan dan hati ?
Anak-anak itu menari nari sambil bersiap melayangkan pukulannya. Bahkan sempat berhenti karena terpinggal-pingkal sambil mengaduh karena pukulan yang sukses mengenainya. Sebuah senyuman ikut menghiasi wajah Ara.
Sebuah semangat baru timbul dihati Ara.
Aku akan menemukan silatku. Aku akan menemukan hatiku.
“ketika hati berkata, tubuh pun mengakuinya”
Recent Comments