Di masa lalu, para sesepuh menciptakan ilmu silatnya melalui berbagai macam proses, dari proses pelatihan yang berbentuk fisik hingga hal-hal yang bersifat spiritual yang bercakupan luas tentang kehidupan, kedamaian dan lain sebagainya. Tak sedikit dari aliran atau perguruan silat yang mengharuskan mengucapkan sebuah janji atau panutan/petuah dasar yang dibakukan. Sebutlah istilahnya dengan janji murid, janji pendekar, janji setia, sifat kesatria, dan lain sebagainya. Tak sedikit pula yang menggunakan kalimat “saya berjanji” di awalnya dan diucapkan ketika akan memulai latihan. Yang artinya bila 100 kali berlatih, ya sangat mungkin 100 kali pula kata-kata tersebut di ucapkan.
Tapi bagaimanakah nilai dari kata-kata tersebut di hati para pengucapnya ?
Saya tergelitik ketika melihat sejumlah postingan di media social dan blog serta kebetulan melihat sebuah gambar logo perguruan yang di coretkan di sebuah batu besar di pinggiran jalan. Tergelitik untuk mengingat bagaimana dulu para pelatih silat yang pernah saya ikuti pun membimbing saya dan teman-teman yang berlatih untuk mengucapkan kata-kata yang kurang lebih sama.
Bicara janji, disinilah seharusnya peran seorang guru atau pelatih atau senior untuk mengawasinya. Terkadang kebanggaan berlebih seorang murid ditambah dengan sejumlah doktrin kebanggan yang berlebihan yang diberikan seorang pelatih membuat kebanggaan yang tunjukan tidak lebih dari kebanggaan sebagai sekelompok oknum yang tidak jarang wujudnya adalah tindakan semena-mena yang sesungguhnya hanya merusak nama baik aliran atau perguruannya.
Inilah peran seorang guru atau pelatih yang terkadang diabaikan. Padahal seorang guru atau pelatih juga yang membimbing para muridnya untuk mengucapkan kata-kata janji tersebut. Menjadi guru atau pelatih bukan cuma harus bisa mengajarkan keilmuan secara kurikulum, tapi harus memberikan bimbingan bagi siswanya untuk mengucapkan janji dan juga bertanggung jawab atas tindakan sang murid ketika mengatasnamakan perguruan atau alirannya. Sangat pantas bila seorang guru menegur muridnya atau bahkan menghukumnya bila sang murid melakukan pelanggaran terhadap janji dan aturan yang sudah di sepakati.
Hanya sayang, tidak disemua tempat penegakan janji atau kesepakatan tersebut dilakukan. Padahal mengemban predikat sebagai seorang guru atau pelatih sering kali menjadi cita-cita dari mereka yang berlatih silat, menjadi kebanggaan. Sesuatu yang tak jarang menjadi bagian dari sebuah prestasi yang diidamkan. Tapi saling hina, saling ejek, bahkan kadang-kadang tindakan merusak secara fisikpun yang dilakukan bagaikan sebuah geng jalanan yang tak kenal aturan terkadang pun dilakukan oleh sekumpulan oknum dari sebuah aliran atau perguruan.
Disinilah perlunya sebuah kesadaran untuk melakukan kontrol bertingkat agar dapat meminimalisasi tindakan semena-mena dari para oknum.
Dulu disebuah aliran beladiri, ada sebuah aturan dimana bila terdapat oknum, hukuman yang diberikan sangat keras. Saya pernah melihat sendiri ketika sang guru yang lebih tinggi tingkatannya memberikan hukuman dengan langsung menghampiri pelaku oknum di tempatnya. Bahkan pernah saya melihat seorang guru besar membubarkan tindakan tak baik dari sekumpulan oknum dan melucuti semua atribut perguruannya di tempat itu juga ketika dia mengecek kebenaran soal tindakan sekumpulan oknum perguruannya yang melakukan tindakan tidak baik dengan menggunakan atribut perguruannya.
Apakah tindakan sang guru tersebut menjelekan nama perguruannya ? Menurut saya tidak. Justru saya sangat salut atas ketegasannya dan tidak main-main dalam menjaga nama alirannya. Dan saya pun sangat yakin, masyarakat sekitarnyapun cukup senang dengan tindakan sang guru karena menghukum muridnya.
Saya juga pernah melihat aksi bersih-bersih menghapus corat coret di dinding yang bukan pada tempatnya, tulisan-tulisan yang menuliskan nama perguruan dan logo yang pembersihannya dilakukan oleh orang-orang dari perguruan itu sendiri. Dan mereka mencari pelaku pencoret coret dinding tersebut dan menghukumnya.
Mari kita bayangkan apakah yang akan ada dalam pikiran para sesepuh yang menciptakan ilmu silat dalam sebuah aliran atau perguruan ketika menyaksikan anak-anak didiknya menjadi perkumpulan geng ? Pikirkanlah kesedihannya ketika ilmu yang penuh kemuliaan di susun dengan tidak hanya pelatihan fisik tapi juga penuh dengan nilai-nilai spiritual di jadikan kekuatan untuk merusak mereka yang dianggapnya golongan lain ? Apakah akan ada kebanggaan dalam dirinya ketika melihat pengerusakan dilakukan oleh murid-murid yang mempelajari ilmu silatnya ?
Kembali ke soal janji. Mari kita renungkan bersama. Apakah janji-janji tadi karena terlalu sering diucapkan sehingga menjadi hanya sekedar buah kata tanpa makna ? Sudah layakkah kita menjadi seorang guru yang layak untuk menyandang nama baik perguruan atau aliran kita ? Seberapa baik kita mewujudkan kebanggaan perguruan atau aliran dalam perbuatan kita ketika membawa nama perguruan atau aliran kita ?
Mari kita menjaga kebanggan kita akan aliran atau perguruan kita, dan yang paling penting adalah menjaga kebanggaan sang guru karena memiliki kita sebagai muridnya.
Recent Comments