REKAM JEJAK PENCAK-SILAT DALAM FILM LAGA INDONESIA

 

 

Oleh : GJ. Nawi

                                               

 

Hampir semua ilmu beladiri dipopulerkan lewat media khususnya layar lebar, masih ingatkah kita ketika awal 70an Bruce Lee mengenalkan Kungfu lewat Big Boss hingga populer di kalangan anak-anak Indonesia sepatu Big Boss?, disusul Shinichi “Sonny” Chiba mendongkrak Karate lewat film Champion of Death memerankan Masutatsu Oyama, lalu film pedang Jepang Shintaro Katsu “Zatoichi”, akhir 80an Hee Ill Cho dengan Taekwon Do nya lewat Best of The Best dan trilogi Blood Sport, Michael Dudikov dengan American Ninja, hingga yang terasa sekali Mark Dacascos mendemamkan Capoeira lewat Only The Strong di th 90an?.

                                                _____________________________

 

Dimulainya perfilman Indonesia sejak tahun 1900 ketika masih pra film bersuara (soundfilm), jumlah bioskop dan penikmat film masih relatif sedikit dan itupun didominasi oleh lapisan masyarakat atas. Umumnya para penikmat adalah orang-orang berduit dari kalangan meneer dan sinyo Belanda serta tuan toko besar orang-orang Tionghoa.  Film-film yang diputarpun adalah film bisu impor, sebagian besar yang paling digemari adalah film “adu jotos” Western ala koboi. Lebih-lebih kalau film tersebut dibintangi oleh aktor kesayangan yang bukan hanya bertampang gagah, tetapi juga pandai berkelahi. Sebut saja Eddie Polo, Harry Cary, Hoot Gibson, dan sebagainya. Sejak saat itu film drama dan laga semakin digemari, hingga  boleh dikatakan telah menjadi representasi budaya masyarakat Hindia Timur di awal abad dua puluh.

Selang hampir tiga puluh tahun kemudian, barulah dibuat film pertama produksi lokal yang berjudul Loetoeng Kasaroeng (1926). Meski diproduseri dan disutradarai oleh orang Belanda (G. Kruger dan L. Heuveldorp) namun film ini telah dirilis secara komersial dengan melibatkan beberapa orang pribumi sebagai pemeran utamanya.

Film bertema drama dan laga tampaknya masih berpihak di awal-awal produksi film nasional. Titik terang tentang film laga dengan adegan perkelahian tertata mulai muncul ketika para sineas peranakan Tionghoa mengambil alih kendali perfilman nasional. Peranan kiprah peranakan Tionghoa di industri perfilman nasional tidak terlepas dari kuatnya pengaruh perkembangan kesusastraan Melayu Tionghoa yang tengah marak kala itu. Cerita-cerita roman yang sedang naik daun di media massa lokal kala itu seperti Keng Po, Sin Po, dan Star Weekly memungkinkan sebagai stimulir untuk dijadikan latar belakang cerita sebuah film. Dapatlah dikatakan bahwa pada awal tahun 30an, kesusatraan Melayu Tionghoa turut berperan mempopulerkan istilah “silat”. Fenomena ini ditandai dengan diterbitkannya secara berkala edisi bulanan  cersil saduran roman sejarah Tiongkok bersetting Bu Kek, yang diterjemahkan sebagai Jago Silat. Hingga pada saat itu semua masyarakat tidak terkecuali menyebut beladiri, khususnya beladiri Tionghoa dengan sebutan populer “silat”.

Film Si Tjonat (1929) produksi Batavia Motion Picture yang diangkat dari cerita roman terbitan Tjoe Toei Yang Batavia karya tulis FDJ. Pangemanann, diasumsikan sebagai penanda terhadap kuatnya pengaruh kesusastraan Melayu Tionghoa. Meski FDJ. Pangemanann sendiri adalah orang Minahasa, namun karyanya banyak dinikmati oleh kalangan peranakan Tionghoa. Selang berturut-turut kemudian muncul film Si Ronda (1930) yang disutradarai Lie Tek Swie dengan pemeran utama Bachtiar Effendi dan film produksi Wang Brothers berjudul Si Pitoeng (1931) yang diperankan Herman Sim menjadi film yang meski berlatar belakang cerita rakyat Betawi, namun sarat dengan unsur silat dan budayaTionghoa.

Tahun 1953 ketika film nasional telah bersuara (soundfilm) dirilis film yang seratus persen produksi lokal, yaitu Harimau Tjampa. Film hitam putih produksi Perfini ini sutradarai oleh D. Djadjakusuma dengan pemeran utama Baron Hermanto, Rd Ismail, Titi Savitri dan pendekar silat Kumango juara pencak silat PON II tahun 1955, Malin Maradjo. Film Harimau Tjampa merupakan film pertama berlatar belakang pencak silat dengan melibatkan unsur pencak silat dan budaya Minangkabau di dalamnya, kemungkinan besar aliran pencak silat yang digunakan dalam adegan-adegan perkelahian adalah Silek Kumango mengingat peranan penting Malin Maradjo dalam film itu. Hal yang paling membanggakan dari film ini adalah diraihnya penghargaan dalam Festival Film Indonesia tahun 1955 untuk kategori skenario terbaik.

 

harimau-tjampaSalah satu adegan film Harimau Tjampa (photo source: indonesiancenterfilm.com)

 

Sepuluh tahun kemudian, Misbach Jusa Biran bersama Wim Umboh adalah tokoh sineas yang pertama kali mengupayakan mengangkat film nasional bertema pencak silat sebagai trigger menggunakan koreografer pesilat secara professional yaitu S. Sanusi dari PS Pusaka Jakarta. Adalah Matjan Kemajoran film hitam putih yang dirilis pada tahun 1965, dengan setting cerita silat Betawi. Diperankan secara apik oleh WD Mochtar. Kesuksesan film Matjan Kemajoran secara pembuatan dan respon masyarakat menjadi tonggak awal kesuksesan dari kebangkitan film bertema pencak silat Indonesia, dengan melibatkan unsur pencak silat di dalamnya dimana pemeran utama maupun tata kelahi yang digunakan adalah murni pencak silat.

Ketika perfilman nasional memasuki dunia film berwarna, sekali lagi Wim Umboh membuat trigger melalui film pertama berwarna yang bertema pencak silat yang berjudul Sembilan (1967), dimana peranan utama masih dipercayakan kepada WD Mochtar. Trigger film bertema pencak silat yang dibuat Misbach Jusa Biran dan Wim Umboh berangsur-angsur mendapat sambutan dari tokoh-tokoh sineas lainnya, seperti Lilik Sudjio yang setahun berikutnya menyutradarai film Si Djampang Mentjari Naga Hitam (1968), dengan koreografer pencak silat masih dipercayakan kepada S. Sanusi.

Film nasional bertema pencak silat yang melibatkan unsur pencak silat ke dalamnya baik itu pemeran utama dan koreografinya mengalami booming ketika memasuki tahun 70an, hal yang sama dibarengi dengan maraknya perkembangan dunia perkomikan di tanah air. Film tetralogi Si Pitung (1970-1976) dan Si Ronda Macan Betawi (1978) dengan pemeran utama Dicky Zulkarnaen dengan latar belakang silat Betawi yang dimiliki, memberikan kenangan tersendiri bagi penggemar film bertema pencak silat, koreografi tata kelahi benar-benar menggambarkan beladiri pencak silat secara utuh meski teknologi efek film pada masa itu belum memadai. Gambaran koreografi tata kelahi di film Si Pitung dan Si Ronda Macan Betawi tidak terlepas dari peran Fighting Director seperti S. Sanusi dari PS Pusaka Jakarta (film Si Pitung), Hadimulyo dari Studio Pencak Silat Nusantara Jakarta (film Pembalasan Si Pitung- Ji’ih), dan Aries Mukadi dari PS Sinar Terate (film Si Ronda Macan Betawi). Kemudian berangsur-angsur sejak awal tahun 70an muncul film-film laga bertema pencak silat seperti Penunggang Kuda Dari Tjimande (1971)-Citra Dewi, Si Buta Dari Goa Hantu (1971)-Ratno Timoer.

 

 

j_ih-ok1film Pembalasan Si Pitung-Ji’ih, fighting director Hadimulyo dari Studio Pencak Silat

 Nusantara, Jakarta (KPS Nusantara)

(dok.pribadi)

Menjelang akhir 70 hingga 90an meski film laga masih memiliki daya jual cukup tinggi, film bertema pencak silat dengan melibatkan unsur pencak silat baik itu pemeran utama maupun koreografinya semakin tidak tampak, bahkan beberapa produser film laga mendatangkan aktor-aktris dan produser asing untuk mendongkrak daya jual yang lebih., diantaranya Kwei Chi Hung dengan Run Run Shawnya asal Hongkong (Lonceng Maut 1976), Lee Chin Kun aktor asal Hongkong (Balada Dua Jagoan 1977), Shin Ill Yong aktor dengan latar belakang beladiri Korea (Pukulan Berantai – Macan Terbang 1977) dan Wang Tao aktor asal Hongkong (Pukulan Berantai 1977), Bobby Kim aktor asal Korea (Tengkorak Hitam 1977),  hingga yang terakhir di tahun 90an adalah Cynthia Rothrock asal Amerika Serikat (Bidadari Berambut Emas 1992). Hanya segelintir insan pencak silat yang terlibat dalam film-film yang bertema pencak silat, salah satunya adalah O’ong Maryono yang beberapa kali terlibat dalam beberapa film. Satu yang paling signifikan adalah perannya sebagai adik perguruan Rhoma Irama dalam film Jaka Swara (1990), yang melibatkan fighting director Robert Santosa dengan latar belakang multi beladiri, meski demikian para insan pencak silat seperti O’ong Maryono dan Rhoma Irama di film ini memberikan kontribusi besar dalam tampilan film laga berkarakter beladiri pencak silat Indonesia.

Selang lebih kurang empat puluh dari dibuatnya film Matjan Kemajoran, seorang sutradara asal Wales, Gareth Huw Evans menemukan sosok Iko Uwais untuk dijadikan ikon baru film bertema pencak silat Indonesia. Dimulai dengan film Merantau (2009) yang meledak di pasaran, disusul Serbuan Maut-The Raid (2011). Pilihan Gareth Evans terhadap Iko Uwais tidak salah, pemuda yang berlatar belakang pesilat Tiga Berantai itu mampu mengangkat kembali film bertema pencak silat dan mendapat sambutan luar biasa yang bukan saja dari dunia perfilman laga nasional namun juga di kancah perfilman dunia lewat beberapa penghargaan, yang salah satunya adalah The Cadillac People’s Choice Award untuk kategori Midnight Madness dalam ajang Toronto Internasional Film Festival 2011 (TIIF) yang ke-36. Mudah-mudahan hal positif seperti ini dapat berlangsung terus, dan tidak perlu menunggu sampai empat puluh tahun untuk kebangkitan pencak silat dalam film laga Indonesia. (GJNawi/081212)

 

note:

Tidak semua data film dan aktor bisa diulas, sehubungan dengan terbatasnya sumber tulisan