SikaSuatu hari ketika liburan sekolah, kembali Ara berjalan-jalan, kali ini dia pergi berjalan-jalan ke tempat eyangnya di kota Solo. Dalam perjalannya dia membayangkan, akankah dia dapat menemukan sebuah aliran silat dari Jawa tengah ? Sudah cukup lama dia mendengar tentang kehebatan para perwira di jaman dulu. Sangat masuk akal baginya kalau diantara orang dalam kraton memiliki ilmu silat rahasia.

Tapi tentu saja tidak mudah untuk dapat menemukannya. Walaupun keluarganya masih memiliki silsilah dari  keluarga kraton tetap saja tidak mudah.

Dari Solo sebagai lokas awal, Ara pergi ke kota Yogyakarta dan mencoba mencari kenalan melalui saudara-saudaranya. Cukup banyak yang di temui, tapi tidak ada yang memuaskan hasratnya karena bukan silat seperti yang dibayangkannya yang ditemukannya.

Pada akhirnya dia teringat pada buku hijau kecil yang bercerita tentang Raden Mas Harimurti. Dari bertanya-tanya akhirnya dia bertemu dengan seseorang yang sudah cukup berumur di lokasi yang kebetulan sedang terdapat beberapa orang tengah berlatih dan berbincang tentang silat, entah karena ketertarikan atau karena apa, pak tua tersebut memperlihatkan gerakan-geraka silatnya. Ara pun mencoba berkenalan dengan latihan tersebut. Ara sangat menyukai pertemuan tersebut dan kesempatannya walau hanya sesaat untuk mencoba berlatih beberapa gaya gerakan silat tersebut.

Hanya saja keinginannya untuk menemukan silat yang lebih “terpendam” belum terpuaskan.

Sebuah nasehat yang sangat diingatnya, “sampahnya dibuang saja”, dibalas dengan saling tersenyum penuh arti. Hanya mereka berdua yang tahu maknanya.

Alkisah seselesainya dia di kota Yogyakarta, Ara kembali ke kota Solo.

Rumah eyangnya di pinggiran kota Solo ini sangatlah luas halamannya, seperti layaknya rumah-rumah jaman dulu, dengan rumah yang masih berdinding anyaman bambu. Di samping rumahnya terdapat sebuah sumur yang harus di timba dengan menggunakan tali sebelum bisa mandi, sementara di belakangnya terdapat rimbunan pohon pisang dan berbagai pepohonan lainnya dengan sebuah bagian yang cukup luas.

Sika

Malam itu, seperti biasa Ara berlatih. Jurus 2 atau Jurus Jeblag yang menjadi “pesan” untuknya agar terus dilatih sedang dimainkan. Langkahnya yang disertai gebrakan kaki menghentak bumi dilakukannya dengan sepenuh hati.

Memang keremangan malam dan suasana membantu menambah kekhusukannya berlatih. Tapi ada sesuatu yang berbeda malam itu, eyangnya yang sudah tua ikut melihatnya berlatih.

Tak lama, sang eyang menghampiri.

“Coba kalau gebrakanmu seperti ini”.

“Brak……”

Gebrakan yang luar biasa keras yang dimainkan sambil memukulkan tangannya kedepan dengan telapak tangan terbuka. Itulah saat pertama Ara melihat jurus pertama sika.

“Apa itu”, Ara bertanya.

“Ini silat keluarga kita. Memangnya bapakmu ngak pernah cerita ?”, Tanya eyang.

“Ngak pernah sama sekali. Bahkan saya disuruh nyari latihan silat sendiri”, kata Ara.

Jadilah malam itu juga Ara memulai latihannya yang pertama dalam silat keluarganya sendiri. Silat yang hanya terdiri dari 3 jurus ini pun menambah perbendaraan silat yang dimiliki Ara. Maka liburan pun dihabiskan untuk mempelajari ke-3 jurus tersebut.

Cara kakeknya mengajari cucunya ini rupanya cukup lumayan kejam. Dari disuruh macul keliling kebun, sampai diajak menangkap ikan dengan tangan kosong. Dan tak segan kakeknya menggunakan pecut alias cemeti untuk memperingatkan sebuah kesalahan.

Pohon-pohon pisang di sekeliling rumahpun tak pelak dijadikan sasaran latihan. Tangan dan kakinya serta tubuhnya hampir setiap saat menerima berbagai hantaman yang harus ditahannya. Dari menggunakan media pohon pisang hingga kepalan tangan.

Tak terasa, waktu seminggu habis sudah. Pagi, siang, sore dan malam terisi dengan latihan.

Sika

Sebuah petuahpun diberikan, “Tumbal Bantala Parwa“. Bumi, yang merupakan bagian pertama dari 10 bab keilmuan yang diajarkan. Merupakan patokan dasar yang melandasi ke-3 jurus utamanya. Jurus yang sangat keras, telangas dan sederhana, dan dalam memainkannya tidak ada istilah menghentikan gerakan karena bentuknya yang dengan sepenuh tenaga menubrukan diri ke arah lawan.

Petuah itu dilanjutkan dengan rangkaian kidung yang di tembangkan tentang bumi, tentang air, tentang bulan, dan segala hal yang membuat Ara mengantuk dan pening karena tidak paham maknanya. Ditambah lagi kemampuannya berbahasa jawa memang sangat minim.

Tapi 1 hal yang di tekankan adalah, ketika memulai membuka jurus, bersiaplah untuk menjadi “Tumbal” bagi jurusmu sendiri atau menjadi “Bumi” yang menerima tumbalnya karena di silat ini tidak ada kata mundur setelah jurus mulai di buka. Artinya kita sendiri atau lawan kita yang akan terkena serangan telak.

Sama seperti sebuah pilihan keputusan, kegagalan atau keberhasilan, kemampuan memainkan jurus yang utama, tapi nasib yang akan menentukan hasil akhirnya. Sama seperti pilihan kita untuk hidup di dunia ini, semua pilihan akan menempatkan kita pada 2 kejadian, kegagalan atau keberhasilan.

Malam itu adalah malam terakhir di kota Solo, ditengah kantuk mendengarkan berbagai kidung dan sajak, Ara mendapatkan banyak petuah dan filosofi hidup dan berjurus yang tak satupun dipahaminya selain sebuah jurus dengan hantaman yang dilakukan sekuat tenaga.

Seperti telur diujung “Sika“, kamu harus belajar menjadi “Sika” dan bukan telurnya. Itu adalah inti utama dari silat yang kamu pelajari ini“, terdengar sebuah kalimat samar  ditengah kantuk yang menghilangkan keinginan untuk bertanya apa artinya.

Sebagai bekal sebelum pulang, Ara mendapatkan latihan bagian ke-2 dan ke-3 untuk dilatih hingga pertemuan berikutnya yang akan terjadi entah kapan.

Bersambung……

Dari bumi bercampur air, menjadi lumpur………