“Siapa sih bapak itu ?”, tanpa sadar seseorang di sampingku berdesis ketika melihat seorang bapak tua memperagakan jurus – jurusnya dengan bertenaga penuh semangat, seakan usia tua tidak mempengaruhinya.
Meloncat ke segala arah, memukul dan menendang dengan cepat dan tajam, Pakdhe Kardi biasa beliau di panggil. Seumur hidup Pakdhe Kardi didedikasikan kepada perguruannya BIMA, Budaya Indonesia Mataram. Dari kecil hingga usia lanjut sekarang ini, Pakdhe Kardi tidak pernah sekalipun meninggalkan pencak silat, setiap hari setiap detik hidupnya hanya untuk pencak silat. Tidak pernah sekalipun Pakdhe Kardi juga mempelajari hal lain kecuali apa yang di ajarkan oleh perguruannya.
Berlatih di bawah bimbingan Pakdhe Kardi benar – benar berlatih dengan seorang pendekar, murid – muridnya benar – benar tertempa dengan kuat karena selalu di latih dengan keras. Kecepatan dan kekuatan pukulan Pakdhe Kardi hanya sedikit yang bisa menanding.
Semangatnya dalam melestarikan pencak silat selalu menjadi contoh untuk kami di Paseduluran Angkringan Silat. Setiap ada event sekecil apapun Pakdhe Kardi selalu hadir dengan penuh semangat dan tidak bosan – bosan memberikan petuah dan dorongan agar kami tetap selalu konsisten dalam perjuangan kami pelestarikan dan mempromosikan pencak silat.
Tak segan – segan Pakdhe Kardi selalu beraksi mencontohkan kepada kami bahwa pencak silat juga mengajarkan budi luhur, beliau selalu berjalan menjalin silaturahmi dari satu perguruan ke perguruan lainnya, bahkan kepada generasi muda pun Pakdhe Kardi tidak pernah sungkan untuk tiba – tiba datang sekedar hanya untuk menjalin sambung rasa.
Satu kata yang tak pernah terlupakan dari Pakdhe Kardi kepadaku adalah
“Mas Arif ayo kita foto bareng, biar nanti ada kenang – kenangan kalau Pakdhe sudah ndak ada nanti ”
Sebuah bentuk perhatian Orang Tua dan harapan agar generasi muda dapat meneruskan melestarikan warisan budaya ini, tidak pandang bulu, murid atau bukan, Budaya Nusantara ini adalah tanggung jawab semua orang untuk mempertahankannya.
hahahaha . berarti semua paeempurn itu hampir sama yahpernah lho aku saking sebelnya sama panggilan mbak/tante/bu/kakak bla bla itu,terus di komunitas aku terapkan, semua harus dipanggil namataaaaaaapiiiiiiiiiiiimereka keberatan sendirirupanya, memanggil dengan embel2 itu buat sebagian orang bukan dilihatnya karena usia kita lho, tetapi bentuk menghargai, tanda hormat, hadohhh mana mereka mau disuruh manggil nama, wlo pun ada juga yang udah tlanjur manggil nama hahaha well, untungnya suami saya orang Sunda, jadi di mereka gak ada panggilan BUDHE, tapi adanya Uwak, cuma karena suami anak ke-3 ya kebagian dipanggil BIBI sajah hiihhiih dan di keluarga sendiri saya sudah terpatenkan dengan panggilan BIUDA hehehe selamaaaaaattt dari panggilan BUdhe xixixi tapiiiiiiiiiiiiiiiiiiii lagi,gak selamat saya dari panggilan TANTE, setiap hari pelanggan di situ 600% ya manggil tante, selebihnya mbanggil mbak, atau ibu. Masih bagus gak ada yg manggil MBAH hahahaanna :hahaha kita dipanggil mbah kalo udah tuaaaaa semoga panjang umur tp setuju, soal menghormati.. panggilan itu juga karena kita menghargai org itu, gak selalu soal usia.