Perpeloncoan dan Tes Mental

cimandeApabila kita berbicara mengenai Silat , maka juga akan terkait dengan aspek pembinaan mental. Salah satu masalah yang mau saya angkat kali ini adalah mengenai adanya praktek perpeloncoan dalam metode pelatihan silat.

Pernah pada suatu ketika saya melihat suatu sesi latihan silat, ketika itu sedang masuk sesi latihan fisik, berupa penempaan dengan cara seperti sit up, push up, kayang/brug, back up, lunges, dan sejenisnya. Saat sesi tersebut ada beberapa siswa silat yang tampaknya fisiknya tidak kuat untuk menjalani latihan tersebut, tiba-tiba sang pelatih –yang terhitung cukup senior memaki-maki dan mengeluarkan kata-kata kotor kepada siswa-siswa tadi, yang lebih mengejutkan saya adalah dengan entengnya sang pelatih tadi gampang sekali main tangan dan tiba-tiba menendang kepala siswanya yang sedang dalam posisi setengah berlutut. Untungnya tidak kena.

Kemudian saya sering juga mendapat informasi bahwa di beberapa perguruan ada praktek yang menurut saya adalah perpeloncoan ketika terutama dalam sesi ujian ataupun penggemblengan. Misalnya ada yang melakukan praktek perpeloncoan dengan cara menyuruh siswa-siswanya makan rumput, mencium kaos kaki busuk bersama-sama, ada juga yang menyuruh siswa-siswanya berlari dan di tengah rute lari tadi tiba-tiba siswa-siswa tersebut dipukuli tanpa teknik, ditendang , dibanting dan diinjak-injak. Belum lagi berbagai “kata-kata mutiara” yang mampu menyaingi warga kebun binatang.

Ada lagi praktek pemukulan, penamparan, penendangan tanpa sebab jelas yang dilakukan oleh senior terhadap juniornya. Saya juga pernah lihat pelatih silat yang dengan mudah menggeplak kepala siswanya, bahkan ada yang dengan entengnya menaruh kakinya di kepala siswanya yang tersungkur karena tidak kuat dengan sesi fisik.

Semua pihak yang pro dengan metode pelatihan seperti yang sudah saya sebutkan di atas, semuanya berdalih atas nama “tes mental” ataupun “pembinaan mental”.

Yang jadi pertanyaan adalah mental seperti apa yang mau dibentuk, apakah pembinaan mental harus dilakukan dengan cara-cara demikian ?! apakah tidak ada cara lain untuk pembinaan mental?!

Padahal dalam dunia akademis/universitas, praktek perpeloncoan seperti misalnya “penyiksaan fisik”, ataupun penyerangan verbal dengan kata-kata yang dianggap merendahkan derajat kemanusiaan sudah dilarang. Di beberapa universitas, praktek ini sudah digantikan dengan misalnya hal-hal lainnya yang jauh lebih mendidik, misalnya dengan memberikan tugas untuk membuat makalah sesuai bidang studi dalam jumlah banyak, ataupun tugas-tugas lainnya yang bisa merangsang daya nalar ataupun tugas-tugas yang bisa membangkitkan kreativitas sesuai dengan kebutuhan dari bidang studinya.

Kembali ke dunia persilatan, menariknya praktek-praktek yang saya sebutkan di atas malah saya temukan di perguruan-perguruan yang menerapkan manajemen cukup modern dan lebih cenderung mengajarkan teknik-teknik silat olahraga prestasi. Sebaliknya, praktek-praktek tadi tidak saya temukan dalam latihan-latihan silat yang masih berbasis pada tradisi. Misalnya dalam silat tradisional tidak dikenal adanya ujian kenaikan tingkat dalam pengertian ada event tertentu di lokasi tertentu melakukan seperangkat set ujian. Dalam dunia silat tradisional karena biasanya murid-muridnya tidak banyak dan kedekatan emosional guru dengan murid, maka setiap saat pertemuan adalah ujian, meskipun dalam dunia silat tradisional tidak mengenal sabuk.

Keceran cimandeApakah dalam dunia silat tradisional tidak dikenal adanya tes mental ataupun pembinaan mental. Justru di dunia silat tradisional sangat menekankan aspek mental spiritual. Misalnya dalam silek minang dikenal adanya sesi duduk bersama guru berbincang-bincang membicarakan teknik, mendengarkan petatah-petitih dari guru. Di Minang itu lah yang dikenal dengan istilah silek duduak. Kemudian di beberapa aliran silat Sunda dan Betawi dikenal apa yang disebut dengan “talekan”, “rasulan” dan sejenisnya. Nah dalam acara seperti ini lah aspek mental spiritual sedemikian ditanamkan, misalnya dengan memahami isi dari “talekan”. Saya ambil contoh lagi misalnya dalam Silat Betawi yang kental dengan ajaran Islam, hal ini terjadi karena masyarakat Betawi memang mayoritas Islam, nah salah satu pembinaan mental adalah misalnya dengan penanaman nilai-nilai Islam dan juga nilai-nilai adat, misalnya cium tangan kepada guru ataupun yang jauh lebih tua umurnya dari kita. Dalam silat-silat yang masih kental nilai adat tradisinya, banyak hal yang berhubungan dengan pelatihan mental, ahlak dan spiritual, bahkan tatacara berdiri dan duduk pun sudah mencakup aspek-aspek tersebut. Di sini lah pembinaan mental dilatih tanpa bentuk perpeloncoan.

Dari pihak yang pro praktek-praktek yang menurut saya itu adalah perpeloncoan, mengajukan argumen bahwa latihan silat harus keras, dan praktek tadi itu tujuannya adalah untuk menanamkan nilai-nilai persaudaraan, rasa hormat terhadap senior dan keberanian. Yang saya pertanyakan adalah apa efektif cara-cara tadi, apakah tidak ada cara lain untuk membentuk mental, apakah praktek tadi tidak akan menimbulkan ekses negatif misalnya dendam turun temurun dari senior ke junior, apa tidak berpotensi menimbulkan korban kecelakaan bahkan korban jiwa?! Ini lah serangkaian pertanyaan yang saya ajukan kepada pihak yang pro praktek seperti itu.

Kita kembalikan lah kepada kejujuran hati nurani kita, saya yakin praktek itu hanyalah menumbulkan praktek dendam turun temurun, karena seorang junior yang mengalami hal itu tentunya akan berhasrat melakukan hal itu terhadap juniornya, karena tidak mungkin si junior tadi membalas ke seniornya. Dengan meminjam istilah teori psikoanalisis dari Sigmund Freud, menurut saya praktek tadi hanya akan menimbulkan sisi ego dari manusia, yang efeknya akan menimbulkan rasa superioritas buta terhadap pihak yang dianggap inferior.

Betul latihan memang harus keras, tapi antara latihan keras dengan latihan kasar itu berbeda. Kembalikan ke tujuan dari berlatih silat itu untuk apa. Kalau memang ada pemukulan untuk tujuan penguatan tubuh, bukan berarti perpeloncoan bisa dibenarkan, karena beda antara pelatihan untuk menguatkan bagian tubuh dengan pemukulan untuk perpeloncoan. Dengan segala hormat saya akan bandingkan dengan olahraga lain, misalnya dalam latihan tinju, kickboxing bahkan gulat, latihan penguatan perut misalnya, tidak dilakukan dengan pemukulan yang membabi buta, latihan dimulai dengan penguatan core muscle abs, penguatan otot perut secara bertahap dengan serangkaian latihan seperti dengan variasi sit up, core muscle, dan sejenisnya, kemudian dilakukan penghantaman perut dengan medicine ball, baru tahap pemukulan, itupun ada tekniknya.

Yang membuat saya tergelitik juga adalah saya pernah melihat langsung ada pelatih silat yang marah-marah dan memaki siswa-siswanya yang tidak kuat melakukan push up sesuai perintahnya, dan si pelatih itu pun bahkan tidak mencontohkan bagaimana teknik push up yang benar. Malah sang pelatih tadi dengan mudahnya memukul dan menampar siswanya yang tidak kuat melakukan push up. Nah ini yang mau saya komentari juga, bukankah tujuan penempaan fisik adalah untuk menguatkan fisik bukan dengan merusak fisik. Ingat siswa-siswa tadi bukan lah kaum militer yang memang orang-orang pilihan dengan serangkaian tes fisik, mental, psikologis dan kesehatan yang ketat, mereka hanya anak-anak sipil biasa yang berharap mendapatkan hal positif dari olahraga beladiri kebanggan bangsa Indonesia ini.

cimandeArtinya mereka berharap dari yang tadinya fisiknya lemah bisa menjadi kuat. Karena bicara soal kekuatan fisik maka saya akan bandingkan misalnya dengan olahraga binaraga. Dalam binaraga yang berorientasi pada prestasi, peningkatan massa otot dan juga angkatan-angkatan beban tidak dilakukan dengan pemaksaan dalam pengrtian seperti kasus tadi. Semua dilakukan dengan perlahan, tidak mungkin seorang pemula langsung bisa melakukan angkatan 90 Kg misalnya. Semua diawali dengan sesuai porsinya pemula, sesuai kemampuan tubuhnya, kemudian dilatih secara perlahan-lahan meningkatkan kekuatannya. Demikian dalam kasus push up tadi, tidak mungkin seornag pemula yang tidak terbiasa push up langsung disuruh push up dengan repetisi tinggi, harus dengan pengenalan tatacara push up yang benar, pengenalan tujuan dari push up tadi, adaptasi awal tubuh untuk melakukan push up, baru secara perlahan intensitasnya dan repetisinya ditingkatkan.

Apakah siswa tadi yang dianggap tidak kuat itu mentalnya tidak baik? Apakah siswa tadi dianggap memiliki fighting spirit dan goal achievement yang rendah karena tidak bisa memaksakan kekuatan tubuhnya? Menurut saya sama sekali tidak, karena itu bukan sekedar masalah mental, bisa jadi mentalnya baja, tapi memang kekuatan tubuhnya tidak mendukung, setiap manusia memiliki potensi kekuatan tubuh yang berbeda, dan untuk meningkatkannya harus dengan metode tertentu yang baik dan bertahap. Memang bisa dipaksaka untuk meningkatkan secara cepat tapi apapun cara yang mengandung pemaksaan akan ada efek negatifnya terhadap tubuh, tidak semua orang memiliki kemampuan recovery cepat ataupun pain resistance yang sama.

Mengenai alasan utuk menanamkan nilai-nilai penghormatan pada senior, menurut saya tidak harus dengan perpeloncoan. Kita lihat aliran-aliran silat tradisional di kampung yang benar-benar masih mempertahankan nilai-nilai adat tradisinya, bahkan tanpa perpeloncoan mereka sangat hormat dengan gurunya, menganggap gurunya sebagai ayah angkat, dan terhadap saudara seperguruannya pun tetap ada penghormatan seperti sewajarnya saudara.

Kemudian juga ada praktek ujian dengan cara siswa itu didandani seperti orang gila ataupun memakai atribut seperti mahasiswa sedang dipelonco pada tempo dulu. Anehnya lagi siswa yang didandani dengan atribut tadi disuruh menyanyi dangdut lengkap dengan goyangan tidak jelasnya di tempat ramai, senior-seniornya kemudian menyuruh hal-hal lainnya misalnya menirukan goyangan artis dangdut. Ketika saya beradu argumen dengan pihak yang pro praktek ini, mereka bilang ini bagus untuk pembinaan mental, supaya mentalnya kuat. Lah, saya bantah dengan argument, menguatkan mental apanya, kita ini orang silat, artinya bagaimana ujian itu didesain untuk mengukur/mengevaluasi pemahaman siswa akan silat yang diajarkan, baik itu mengenai teknik-tekniknya, sejarahnya, maupun filsafatnya. Untuk apa ada pembinaan mental dengan goyang-goyang dangdut sambil menggunakan atribut seperti orang gila. Mental yang diharapkan dari seorang pesilat adalah mental malu karena salah, malu berbuat tidak benar, malu melawan orang tua, berani berbuat baik, berjiwa kstria, berani mengakui kesalah dan memperbaiki diri, bukannya mental supaya tidak malu goyang dangdut di depan umum.

Menurut saya akan lebih baik jika pembinaan mental diganti dengan hal lain yang lebih kena ke tujuan evaluasi tadi, misalnya dengan menyuruh siswa mengulang-ulang jurus yang sudah diberikan dengan berbagai pola, kemudian ditanyakan pemahaman maisng-masing siswa sesuai persepsinya mengenai tiap-tiap jurus, setelah itu baru diberikan materi atau ditanyakan mengenai filsafat dan spiritualitas, intinya adalah penanaman nilai-nilai flsafat dan juga spiritualitas.

Sudah saatnya pembinaan dan pelatihan silat dilakukan dengan metode yang ilmiah dan bisa dijelaskn dengan logika, dan sebisa mungkin mencegah terjadinya cedera yang tidak perlu sebagai akibat latihan yang tidak terarah dengan baik. Jangan malah tumbang sebelum bertanding akibat cedera.